Rabu, 08 Februari 2012

Akar Perlawanan yang Keliru (1-5)

Dalam bab ini, akan diuraikan beberapa catatan berkaitan dengan pemahaman Imam Samudra terhadap jihad. Dan hal ini termasuk masalah prinsip yang merupakan dasar kekeliruan Imam Samudra dalam bukunya.  

1. Kekeliruan Seputar Definisi Jihad

Berkata penulis, “

Pengertian Jihad

Dari segi bahasa (etimologi), secara simpel jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan. Dalam hal ini, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad.

Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya.

Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan “jihad fi sabilillah”. Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi ijma’ (konsensus) para ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada perselisihan pendapat, dalam hal ini pendefinisian jihad.” [1]



Tanggapan

Ada tiga catatan untuk ucapan penulis di atas;



Pertama

Ucapan penulis, “Dalam hal ini, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad” adalah ucapan yang tidak ada manfaatnya di sini. Sebab bila dikatakan jihad secara bahasa adalah bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan, artinya bersungguh-sungguh dalam seluruh perkara. Maka tidak perlu sebenarnya penulis memberi contoh dengan “mencari jejak” yang akan mengesankan –kalau tidak memastikan- bahwa penulis terlalu mencari pembenaran terhadap aksi peledakan yang dilakoninya. Kemudian kata “mencari jejak” mungkin bermakna baik dan mungkin bermakna buruk sesuai dengan ragam jejak yang dia cari.

Seharusnya penulis tidak memberi contoh bukan pada tempatnya sehingga membuka pintu yang terlalu luas dalam memahami arti jihad.

Jihad secara bahasa memang punya hubungan dengan jihad secara syar’i namun yang menjadi patokan hukum adalah pengertian secara syar’i.



Kedua

Ucapan penulis, “Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya. Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin.” adalah membolak-balik antara definisi yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendefinisikan jihad secara istilah (terminolagi), “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [2]

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih dari berbagai madzhab bahwa jihad secara istilah adalah “muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.”

Adapun secara syar’i jihad mempunyai cakupan umum meliputi empat perkara;

Pertama : Jihadun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)

Kedua : Jihadusy Syaithon (Jihad melawan syaithon)

Ketiga : Jihadul Kuffar wal Munafiqin (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munanafqin)

Keempat : Jihad Arbabuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarat (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran).

Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahany menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’ala,



“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan mengakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [4]

Dan telah berlalu pembahasan secara terperinci dalam Bab II yang berkaitan dengan jihad.

Sekedar kami isyaratkan dengan perbandingan di atas bahwa penulis sangatlah timpang dalam memahami definisi jihad. Kemudian para pembaca bisa mengukur, apakah orang yang keadaannya seperti ini pantas untuk berbicara tentang masalah jihad yang sangat detail dan butuh keilmuan yang mendalam?

Kemudian ucapannya, “Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya”, adalah definisi yang lebih diwarnai oleh dasar pemikiran penulis yang berarus Khawarij, di mana mereka mengangkat seluruh masalah agama dengan nama memperjuangkan hukum Allah. Adalah kewajiban penulis untuk membuktikan bahwa ada dari kalangan ulama yang diakui dari dahulu hingga sekarang yang mendefinisikan jihad secara istilah dengan makna memperjuangkan hukum Allah.

Dan kami mengakui bahwa memperjuangkan hukum Allah bagian dari jihad dalam makna yang umum, namun, itu bukanlah makna secara istilah sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka.



Ketiga

Ucapan penulis, “Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi ijma’ (konsensus) para ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada perselisihan pendapat, dalam hal ini pendefinisian jihad.”

Kandungan dari apa telah kami jelaskan tentang definisi jihad secara istilah maupun syar’i memang tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama dan semuanya terhitung fi sabilillah. Adapun rincian yang disebutkan oleh penulis telah diketahui kritikan padanya. Dan kelihatannya kerancuan rincian penulis akibat jurus “Seingatku”, sebuah jurus yang sangat konyol dalam ring penulisan.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ilmu itu dua hal; kadang penukilan yang terpercaya, dan kadang pembahasan yang penuh tahqiq (kejelasan, kepastian) dan selain itu adalah igauan yang dicuri.” [5] Wallahu A’lam.



2. Kekeliruan Seputar Hukum Jihad

Penulis berkata, “Lebih dari itu, panggilan suci itu akhirnya lebih wujud sebagai perintah suci dari Allah Yang Maha Suci.

Perangilah mereka (orang-orang kafir itu), kelak Allah akan menyiksa mereka dengan perantara tangan-tangan kamu…(At-Taubah: 14).

Ya! PERANGILAH MEREKA !!

Siapa yang berani menyangkal bahwa itu adalah perintah Allah? Sedangkan semua Ulama ushul fiqh mengerti bahwa, “Status dari perintah (dari Allah) adalah wajib, sampai datang keterangan lain yang mengubah kepada status selain wajib.”

Akhirnya, penggilan suci menjadi perintah suci, dan menjadi kewajiban suci. Mengerjakannya mendapat pahala dan meninggalkannya mengakibatkan kita beroleh dosa. Bahkan bukan sekadar dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam mereka yang meninggalkan jihad dengan siksa yang pedih, siksa yang berat,

Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih!…(At-Taubah: 39)

Kalau Allah menyiksa kita dengan siksaan yang pedih, adakah selain-Nya yang mampu menyelamatkan kita dan menghentikan siksa-Nya? Adakah siksa yang lebih pedih dari siksa Allah? Hanya manusia-manusia tolol, bodoh, idiot, dan mati hati sajalah yang tidak takut akan ancaman Allah Yang Maha Gagah! Yang Maha Kuat! Yang Maha Perkasa!

Aku hanya secuil debu di antara segelintir manusia yang sangat takut dengan ancaman Allah tersebut. Dan aku sama sekali tidak punya sepotong alasan pun untuk tidak menjalankan kewajiban suci tersebut…” [6]



Tanggapan

Dalam ucapannya di atas terkandung bebarapa kesalahan yang cukup memperihatinkan, di antaranya,

1. Kelancangan penulis menjatuhkan hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak menegakkan jihad di zaman ini. Seakan-akan tidak ada lagi yang mendapat udzur-udzur syar’iy dalam hal tersebut.

2. Penetapan hukum wajib secara mutlak tanpa memperhatikan syarat-syarat ditegakkannya sebuah jihad dalam timbangan syari’at. Padahal suatu hal yang sudah merupakan kesepakatan para ulama bahwa jihad hukumnya adalah fardhu kifayah yang bila sebagian dari kaum muslimin telah menegakkannya maka gugurlah dosa terhadap yang lainnya, dan menjadi fardhu ‘ain atas setiap muslim pada empat keadaan sebagaimana yang telah dijelaskan, dan jihad wajib ditegakkan di bawah kepemimpinan seorang penguasa muslim dan ada kekuatan yang cukup pada kaum muslimin.

3. Memakai kaidah ushul fiqh bukan pada tempatnya. Kaidah yang dipakai oleh penulis memang benar, tapi penulis –sebagaimana kebiasaannya, hanya mengambil sebagian dalil dan meninggalkan sebagian yang lain- kurang pandai menggunakan kaidah tersebut, di mana sejumlah dalil disebutkan oleh para ulama di berbagai buku fiqh yang menunjukkan adanya rincian detail tentang hukum asal jihad dan syarat-syaratnya.

4. Gaya penuturan penulis sangatlah mirip dengan kebiasaan orang-orang Khawarij dalam penerapan dalil-dalil ancaman tanpa melihat kepada dalil-dalil lainnya. Dan penetapan hukum wajib untuk berjihad secara mutlak dan memperhatikan syarat-syarat wajibnya juga merupakan salah satu ciri mereka yang diikuti oleh penulis di sini.



3. Kekeliruan Berkaitan Marhaliyyah (tahapan-tahapan) Jihad

Penulis berkata, “Untuk sampai kepada pemahaman yang utuh dan baik tentang Operasi Jihad Bom Bali, paling tidak harus memahami marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad yang disyariatkan dalam Islam menurut pemahaman Salafush-Shalih…” kemudian penulis menyebutkan empat tahapan dari jihad,

Tahap I : Menahan Diri

Tahap II : Diizinkan Berperang

Tahap III : Diwajibkan Memerangi Secara Terbatas

Tahap IV : Kewajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir/Musyrik.

Kemudian penulis menyimpulkan, “Menurut Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh (diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pedang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw. Dengan kaum musyrikin dihapuskan. Pada periode ini, seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jika mereka bertaubat, masuk Islam, mendirikan sholat, dan membayar zakat…” kemudian penulis berkata, “Dengan demikian, turunnya ayatus saif dan ayat ke-36 juga surat At Taubah, merupakan tahapan akhir dari syariat jihad. Dimana, surat ini merupakan surat terakhir yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw.” [7]



Tanggapan

Tidak diragukan bahwa jihad memang mempunyai marhaliyyah (tahapan-tahapan), diuraikan secara lengkap dalam sirah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan didukung oleh nash-nash syar’iy. Sehingga para ulama menyimpulkan hal tersebut dalam empat tahapan[8] :



Tahapan Pertama : Menahan diri dari melakukan peperangan. Dan ini merupakan tahapan yang paling lama dalam sirah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa` : 77)



Tahapan Kedua : Sekedar izin berperang tanpa ada nash perintah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata: “Rabb kami hanyalah Allah”.” (QS. Al-Hajj : 39-40)



Tahapan Ketiga : Hanya memerangi orang-orang yang memerangi kaum muslimin dan menahan diri dari selainnya. Dalilnya adalah firman-Nya,



“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah : 190)



Tahapan Keempat : Memerangi orang-orang kafir hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (upeti). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,



“Kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (QS. Al-Fath : 16)



“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29)



Demikian tahapan-tahapan kewajiban jihad. Dan kami tidak memberikan cacatan untuk Imam Samudra dalam masalah marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut. Namun, yang menjadi letak pembahasan disini adalah kesimpulan yang ia pahami dari marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut.



Penulis memahami bahwa tahapan keempat adalah “merupakan tahapan akhir dari syariat jihad” [9], dan ia menghapus seluruh tahapan sebelumnya. Penulis menyatakan “Menurut Ibnu ‘AbbasRadiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh (diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pendang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw.” [10]



Tanggapan

Kesimpulan penulis di atas merupakan salah satu hal yang melandasi kekeliruan pemahamannya sehingga ia menjatuhkan hukum wajib jihad secara mutlak dan menvonis hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak menegakkan jihad di zaman ini -sebagaimana yang telah lalu-.

Dan kekeliruan kesimpulannya di atas bisa diuraikan dari beberapa sisi:

Satu : Merupakan kaidah dasar dalam memahami sebuah nash syar’iy adalah mengamalkan seluruh nash tersebut dan mengkompromikannya bila terkesan ada pertentangan antara nash-nash tersebut. Dan inilah seharusnya yang ditempuh dalam memahami tahapan-tahapan jihad di atas, diamalkan sesuai dengan kondisi yang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya menerapkannya.

Dua : Anggapan penulis bahwa ayatus saif telah memansukhkan ayat-ayat yang memberi makna sabar dan memaafkan orang kafir dengan membawakan pendapat beberapa nama ulama tafsir adalah merupakan suatu kesalahan dalam memahami makna mansukh dalam istilah para ulama. Penulis menerjamah kalimat mansukh dengan makna “diganti”, menunjukkan bahwa penulis mendefinisikan mansukh disini dengan istilah orang-orang belakangan. Sedangkan istilah para ulama terdahulu dalam menggunakan kalimat mansukh lebih luas cakupannya dari itu. Kadang mereka menggunakan kalimat mansukh pada hal yang dikhususkan sisi pendalilannya, pada nash yang mutlak yang dikembalikan kepada nash muqayyad (terbatas), bahkan kadang menjelaskannya dengan teks lainnya mereka anggap naskh. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.[11] Dan Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan sejumlah contoh yang menunjukkan bahwa kadang para ulama mengatakan “nash ini adalah mansukh” tapi yang mereka inginkan bukan terhapus hukumnya, melainkan dikhususkan kandungan, dibatasi atau ditafsirkan.[12]

Perhatikanlah wahai para pembaca, betapa pentingnya mengetahui ilmu-ilmu agama secara mendetail. Kurang memahami hakikat makna “Mansukh” saja menjatuhkan penulis dalam sebuah kesalahan besar; menganggap bahwa tahapan keempat telah menghapus tahapan-tahapan sebelumnya.

Tiga : Setelah memahami uraian di atas, maka akan bisa dipahami betapa luas keilmuan Ibnu Taimiyah rahimahullah tatkala beliau memahami tahapan-tahapan jihad di atas. Beliau berkata, “Siapa saja dari kaum mukminin berada pada sebuah negeri yang ia lemah padanya, atau pada suatu waktu yang ia lemah padanya, maka hendaknya ia beramal dengan ayat tentang sabar dan memaafkan orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyriki. Adapun orang-orang yang kuat, hendaknya ia beramal dengan ayat tentang memerangi Ahlul Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” [13]



4. Kepemimpinan Jihad Versi Imam Samudra

Penulis menyatakan, “Ketiadaan Khilafah atau Daulah Islamiyah saat ini, tidak menghalangi terselenggaranya jihad. Seharusnya ketiadaan Khalifah atau Amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti atau tertunda. Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya ketiadaan Imam tidak mengakibatkan jihad tertunda, karena kemaslahatan jihad akan terganggu dengan penundaan tersebut.”.” [14]



Tanggapan

Makna ucapan penulis di atas, bahwa boleh menyelenggarakan jihad walaupun tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemerintah muslim. Dan ini merupakan salah satu prinsip dasar kaum Khawarij yang menyelesihi nash-nash jelas nan tegas yang telah berlalu uraiannya dalam bab-bab yang berkaitan dengan jihad.

Andaikata penulis hanya menyandarkan prinsipnya ini kepada dirinya semata, maka itu adalah suatu hal yang wajar dan ringan. Namun penulis di sini memberikan kerancuan yang sangat besar kepada para pembaca tatkala ia menyandarkan hal tersebut kepada Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasy rahimahullah, salah seorang tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ternama.

Saya tidak mengetahui cetakan kitab Al-Mughni mana yang dipakai oleh penulis dalam pengacuannya terhadap ucapan Ibnu Qudamah tersebut.

Tapi dugaan besar saya, bahwa penulis menukil ucapan Ibnu Qudamah itu dari orang lain dengan mengambil catatan jilid dan halamannya. Sehingga penulis terjatuh dalam menisbatkan sesuatu kepada Ibnu Qudamah, apa yang beliau tidak ucapkan.

Apa yang dinukilkan oleh penulis dari Ibnu Qudamah dengan redaksi di atas, kami tidak ketemukan dalam kitab Al-Mughny dalam pembahasan Jihad. Bahkan yang kami ketemukan adalah ucapan-ucapan yang sangat berseberangan dengan nukilan penulis. Diantaranya, Ibnu Qudamah menekankan keyakinan seluruh ulama Ahlus Sunnah akan harusnya jihad dibelakang setiap Imam (pemimpin negara) baik maupun fajir, dan beliau berkata setelah membawakan beberapa dalil tentang hal tersebut, “…dan karena meninggalkan jihad bersama (Imam) fajir akan mengantarkan kepada terputusnya jihad itu, nampaknya (berkuasanya, -pent.) orang-orang kafir di atas kaum muslimin dan pembinasaan terhadap mereka, dan nampaknya kalimat kekufuran, dan padanya terdapat kerusakan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,



“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” [Al-Baqarah: 251].”[15]

Dan Ibnu Qudamah berkata, “Dan urusan jihad kembali kepada Imam dan ijtihadnya, dan rakyat wajib taat kepadanya pada pendapatnya dalam hal tersebut…”[16]

Bahkan dalam jihad difa’i sekalipun, Ibnu Qudamah mengharuskan untuk menegakkan jihad dengan izin penguasa –bila hal tersebut memungkinkan-. Beliau berkata setelah menurunkan beberapa dalil tentang wajibnya meminta izin kepada penguasa dalam urusan jihad, “…dan sesungguhnya mereka, apabila musuh telah datang, maka jihad menjadi wajib ‘ain terhadap mereka, sehingga menjadi wajib terhadap seluruhnya dan tidaklah diperbolekan bagi seorang pun untuk alpa. Apabila hal ini telah tetap, maka mereka tidaklah boleh keluar (jihad) kecuali dengan izin Amir (pemimpin) karena urusan perang diserahkan kepadanya, dan ia lebih mengerti banyak sedikitnya musuh, makar dan tipu daya mereka. Maka seharusnya hal tersebut dikembalikan kepada pendapatnya, karena itu lebih berhati-hati untuk kaum muslimin, kecuali bila sulit untuk meminta izin karena musuh yang menyerang mereka secara tiba-tiba, maka tidak wajib meminta izin karena mashlahat mengharuskan untuk memerangi dan keluar terhadap mereka, (juga) karena akan pasti terjadi kerusakan bila meninggalkan (memerangi) mereka. Karena itulah, tatkala orang-orang kafir menyerang pengembala kambing Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan diam-diam, lalu mereka didapati oleh Salamah bin Al-Akwa’ yang sedang keluar dari Madinah, (Salamah) mengikuti mereka kemudian membunuh mereka tanpa izin. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau seraya berkata, “Sebaik-baik pasukan kami adalah Salamah bin Al-Akwa’”, dan (Nabi) memberi beliau jatah seorang penunggang kuda sekaligus pejalan kaki.” [17]

Demikian beberapa nukilan dari Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughny. Seluruhnya menunjukkan bahwa beliau sama dengan para Imam Ahlus Sunnah yang lainnya dalam masalah kepemimpinan dalam jihad.

Dan andaikata penisbatan penulis terhadap ucapan Ibnu Qudamah itu benar, maka tentunya kesepakatan para ulama tentang wajibnya sebuah jihad dipimpin oleh seorang penguasa adalah sebuah keyakinan yang telah tetap dalam syari’at Islam ini. Wallahu A’lam.



5. Target Jihad Imam Samudra

Penulis berkata, “Jelaslah bahwa peperangan dilakukan sampai tercapai dua keadaan:
Tidak ada lagi kemungkaran di muka bumi ini.
Sehingga dienullah (Islam) mengatasi, mengungguli dien-dien lain. Dalam istilah lain: terlaksana hukum Islam secara sempurna.” [18]

Tanggapan

Dua hal yang disebut oleh penulis memang termasuk dan tujuan mulia dari jihad di jalan Allah.

Tapi apakah tujuan tersebut telah tercapai dari kasus Bom Bali yang ditokohi oleh penulis dan teman-temannya?

Setiap orang bijak dan adil dalam bersikap akan menegaskan bahwa penulis telah meruntuhkan tujuan jihad yang mulia tersebut, bahkan yang terjadi dari aksi-aksi penulis dan semisalnya adalah kemungkaran, kerusakan, penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan kaum muslimin.

Dan kami sudah terlalu banyak menguraikan berbagai kerusakan dan kemungkaran tersebut dalam Bab “Dampak-dampak Negatif Terorisme”. Cukuplah pembaca yang menilai.



[1] Aku Melawan Teroris hal. 108.


[2] Lihat Fathul Bari 6/5, Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authar 7/246.


[3] Dengan perantara Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.


[4] Ibid.


[5] Ar-Radd ‘Ala Al-Bakry 2/729, Maktabah Al-Ghuraba`/cet. Pertama/1417H.


[6] Aku Melawan Teroris hal. 103.


[7] Aku Melawan Teroris hal. 123-131.


[8] Baca tahapan-tahapan tersebut dalam Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 3/70-71, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/349, Fatawa Al-Ulama Al-Akabir karya Syaikh Abdul Malik Ramadhoni hal. 20-23.


[9] Aku Melawan Teroris hal. 131.


[10] Aku Melawan Teroris hal. 130.


[11] Baca I’lamul Muwaqqi’in 1/36.


[12] Baca Al-Muwafaqot hal. 99-109.


[13] Baca Ash-Shorim Al-Maslul 2/413-414.


[14] Aku Melawan Teroris hal. 163.


[15] AL-Mughni 13/14, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.


[16] AL-Mughni 13/16, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.


[17] AL-Mughni 13/33-34, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.


[18] Aku Melawan Teroris hal. 134.

http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-perlawanan-yang-keliru-1-5.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar