Rabu, 08 Februari 2012

Akar Kesesatan (4)

Akar Kesesatan Keempat : MEMBANGUN HUKUM DIATAS PERASAAN.

Termasuk akar dan dasar kesesatan penulis yang banyak mewarnai tulisannya dan aksi bom Bali yang dia lakukan adalah membangun hukum bukan semata berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan berdasarkan perasaan dan semangat belaka. Dan gaya seperti ini merupakan salah satu sumber kesesatan berbagai kelompok yang menyimpang sekaligus menujukkan lemahnya pemahaman dan aqidah pelakunya.

Perhatikan ucapan penulis, “Mercusuar itu padam apinya. Tumbang menaranya. Lautan menjadi gelap. Kapal-kapal pun bertabrakan. Ada tangis berkepanjangan. Badai tak kunjung reda. Umat ini ditimpa bala. Dalam bala ada petaka. Dari petaka terlahir luka. Duka menerpa. Ia tiada karena umat ini telah alpa. Tapi siapa berani menebus dosa? Menerpa nestapa mengentas derita. Ada? Tidak ada? Ada? Tidak ada? Dan luka, dan luka itu kini kian membesar, membesar dan membesar!

23 Mei 1924, mercusuar terakhir, benteng terakhir umat Islam, tumbang sudah. Pengkhianatnya yang bernama Mustafa Kamal At-Taturk, seorang pezina keturunan Yahudi Donama. Lewat tangan najislah Kekahlifahan Utsmaniyah (Turki Utsmani) runtuh. Dan mulai detik itu tak ada lagi Khilafah Islamiyah. Detik itu juga sorak kemenangan dan kegembiraan Yahudi bersama Salibis Internasional membahana, karena memang itulah yang mereka harapkan.

Jika kamu memperoleh kebaikan, maka mereka akan berduka cita, dan jika kamu ditimpa keburukan, maka mereka bergembira dengan hal itu…(Ali-Imran: 120).

Saat Khilafah Islamiyah musnah, dunia kembali ke zaman jahiliyah…” [1]

Tanggapan

Ucapan penulis di atas dan beberapa kalimat senada dengannya yang memuat kesan bahwa umat ini dapat dihancurkan oleh musuhnya hanyalah menunjukkan kejahilan dan kelemahan penulis dalam memahami Islam dan aqidah yang benar.

Tahukan penulis bahwa umat ini pasti dijayakan oleh Allah, dan tidak akan mungkin dibinasakan oleh musuh mereka?

Bukankah Allah Jalla Jalaluhu telah menegaskan,

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,



لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [2]

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrif (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwil orang-orang jahil.” [3]

Maka derita dan petaka yang menimpa umat adalah ujian dan cobaan serta peringatan kepada mereka untuk membenahi diri dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dengan mempelajari dan menjalankan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah jalan kebahagian dan kejayaan umat, dan kekuatan mereka akan kembali bila mereka bertakwa kepada Allah dan menjalankan seluruh syari’atnya. Bukan justru melakukan aksi-aksi yang hanya menambah derita dan kepedihan umat, dan hanya menambah luka di atas luka seperti yang dilakukan oleh penulis dan orang-orang semisalnya yang meraung-raung di tengah gema tangis dan kesedihan tanpa ada langkah penyelesaian yang dibenarkan oleh syari’at.

Dan boleh kami tegaskan disini bahwa penulis melakukan aksi terornya (bom Bali) hanya dibangun di atas semangat belaka. Perhatikan ucapannya di sampul belakang bukunya, “Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala…dibentur di tembok-tembok Palestina…jeritmu wahai bayi-bayi Afghanistan…yang memanggil-manggilku tanpa lengan…dieksekusi bom-bom jahannam…milik setan Amerika dan Sekutu…saat ayah bundamu menjalani Ramadhan! Ini aku, saudaramu…ini aku, datang dengan secuil bombing…kan kubalas sakit hatimu…kan kubalaskan darah-darahmu…darah dengan darah…nyawa dengan nyawa!…qishash!!”

Dan perhatikan ucapannya, “Melihat kondisi semacam ini, di mana jutaan darah kaum muslimin tumpah-ruah, kehormatan mereka dicabik-cabik oleh senjata Amerika dan sekutunya, pantaskah kaum muslimin lainnya berpangku tangan?” [4]

Dan penulis berkata, “Di sana aku hanyalah seorang pemuda tua yang tengah belajar arti sebuah derita dan kesakitan, makna sebuah luka dan perlawanan, maksud sebuah keteguhan dan kesabaran, tafsir dari sebuah jihad dan kesyahidan. Aku belajar dari anak-anak kecil itu, yang kini di musim dingin tak lagi berjaket atau berkaos tebal karena telah musnah dibakar api biadab, api dendam neraka kekejaman Israel. Musnah dalam dera buldoser dan gelegar mortar. Aku kuliah dari remaja-remaja itu, yang tumbuh dalam kampus bernama ‘Universitas Darah’ Palestina. ‘Laboratorium Tarbiah’ tempat mereka bereksperimen dalam kesamaptaan iman, berhasil mengubah lumpur menjadi mitralliur, mengubah batu menjadi peluru…” [5]

Dan ucapan-ucapan cengeng seperti di atas sangatlah banyak, dan tidaklah pantas saya menyibukkan para pembaca dengannya.

Tanggapan

Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya berada di Makkah kaum muslimin penuh dengan penderitaan, penindasan, penghinaan dan sejumlah derita yang mereka hadapi yang tercatat dalam sejarah generasi terbaik umat ini guna menjadi pelajaran bagi kita. Adakah para shahabat yang melakukan aksi-aksi bunuh diri, pengrusakan dan sebagainya? Bahkan apakah mereka diberi izin untuk melawan dengan tangan dalam kondisi lemah dan bila mereka mengadakan perlawanan mungkin akan terjadi petaka yang lebih besar terhadap mereka? Bahkan mereka komitmen dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan tidak memperturutkan perasaan belaka.

Dari Khabbab bin Al-Arat radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

شَكَوْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِيْ ظِلِّ الْكَعْبَةِ فَقُلْنَا أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُوْ لَنَا فَقَالَ قََدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيْهَا فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوْضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نَصْفَيْنِ وَيُمْشَطُ بَأَمْشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ لَحْمِهِ وَعَظَمِهِ فَمَا يَصُدُّهُ ذِلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَاللهِ لَيُتِمَّنَ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ

“Kami mengadu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau sedang berbantal dengan burdahnya di bawah teduhan Ka’bah. Kami berkata, “Tidakkah engkau mendoakan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau mendoakan kebaikan untuk kami?” Maka beliau bersabda, “Sungguh telah terdahulu orang-orang sebelum kalian, seorang dari mereka diambil lalu digalikan lubang untuknya di bumi, kemudian ia diletakkan padanya, lalu didatangkanlah gergaji kemudian diletakkan di atas kepadanya sehingga ia terbelah dua, dan ada yang disisir dengan sisir-sisir besi sehingga menembus daging dan tulangnya, namun hal tersebut tidaklah menghalangi mereka dari agamanya. Demi Allah, sungguh (Allah) akan menyempurnakan perkara ini (Islam), sampai-sampai seorang berkendaraan akan berjalan dari Son’a` ke Hadramaut tidak ada yang ia takuti selain Allah dan serigala yang mengintai kambing-kambingnya. Akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa.” [6]

Perhatikan, adakah para shahabat karena penderitaan yang mereka derita melakukan tindakan di luar perintah Rasul Allah yang membawa ketentuan dan tuntunan dari-Nya? Dan adakah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mendidik mereka untuk hanya memperturutkan perasaan belaka sehingga terjadi tindakan-tindakan konyol yang membawa kejelekan yang besar terhadap mereka dan semakin menambah derita mereka? Bahkan mereka dilarang untuk berperang dengan tangan tatkala keadaan tidak memungkinkan di Makkah waktu itu.

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!”.” (QS. An-Nisa` : 77)

Dan tidakkah seharusnya penulis mengambil pelajaran dari kisah perjanjian Hudaibiyah, di mana kaum muslimin –yang jumlah mereka waktu 1400 personil- melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy untuk tidak saling berperang dan kalau ada dari penduduk Mekkah datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam keadaan telah masuk Islam, maka ia hendaknya dikembalikan ke Mekkah…., dalam keadaan seperti itu datanglah Abu Jandal radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi terbelenggu rantai. Dan beliau berkata, “Wahai sekalian kaum muslimin, apakah saya dikembalikan kepada kaum musyrikin sedang saya telah datang sebagai seorang muslim, tidakkah kalian melihat apa yang saya alami? –dan beliau telah disiksa di (jalan) Allah dengan siksa yang dahsyat-” Dan akhirnya berdasarkan perjanjian beliau harus dipulangkan ke Mekkah. Dan Allah membukakan jalan keluar baginya setelah itu. [7]

Perhatikan bagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menahan diri agar dapat mencapai mashlahat yang lebih besar bagi kaum muslimin. Padahal mereka memiliki jumlah dan kekuatan. Tapi tatkala jumlah dan kekuatan itu jauh dibawah kekuatan kaum musyrikin, maka ada syari’at untuk melakukan perdamaian sementara. Dan ini adalah suatu hikmah syari’at yang tidak bisa dicerna dengan sekedar mengikuti perasaan.

Dan yang lebih lucu lagi, gaya penulis berkisah tentang ‘Pengalaman Rohani’nya di akhir bukunya hal. 267-279. Ketika membaca kisah-kisah tersebut; “Siapa lelaki berjenggot itu?”, “Remote”, “Dari mana datangnya air?” dan kisah “Roti dan Mentega”, terus terang saya banyak tertawa bercampur heran menyaksikan ulah syaithan yang asyik menyeret penulis dalam kesesatannya. Sehingga dengan bangganya penulis dan kawan-kawannya menganggap bahwa sebagian yang mereka alami adalah ‘karamah’ sambil meneriakkan “Allahu Akbar!”. Ini kebenaran mujahidin. Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!” [8]

Suatu hal yang telah dimaklumi dalam syari’at bahwa yang menjadi ukuran suatu kebenaran adalah bila mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah suatu hal yang meyakinkan tidak memuat keraguan apapun, sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah suatu zhon (sangkaan) yang mengandung kemungkinan benar atau salah. Maka tidaklah boleh seseorang membenarkan perbuatan yang ia lakukan hanya sekedar berdasarkan pada kejadian-kejadian yang dialaminya walaupun terkesan merupakan dampak baik dari perbuatannya, sebagaimana yang terjadi pada penulis yang menganggap ‘karamah-karamah’ itu sebagai bukti kebenaran aksi terorismenya.

Dan ini adalah salah satu kerancuan dalam memahami agama dan kejahilan tentang kaidah-kaidah syari’at.

Bukankah penulis bercerita tentang Dajjal dengan kemampuannya menghidupkan dan mematikan, punya sorga dan neraka…?[9] Apakah seluruh itu menunjukkan bahwa Dajjal berada di atas kebenaran?

Saya yakin tidak seorang pun yang mengetahui hadits-hadits mutawatir tentang fitnah Dajjal yang kafir akan membenarkan Dajjal karena hal tersebut.

Dan tatkala ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, maka si pembunuh yaitu Abdurrahman bin Muljim dikeluarkan pula untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhuma memotong kedua tangan dan kakinya. Ibnu Muljim tidak merintih dan tidak pula berbicara. Kemudian kedua matanya dicelak dengan paku panas, ia tetap tidak merintih bahkan ia membaca (surah) “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah…-hingga akhir surah Al-Alaq.-” sedang kedua matanya meleleh. Tatkala lisannya akan dipotong, Ibnu Muljim merintih. Ditanyakan kepadanya, “Kenapa engkau merintih?” Dia menjawab, “Saya tidak senang menghadapi kematian di dunia sedang saya tidak berdzikir mengingat Allah.” Dan Ibnu Muljim orang yang agak hitam, pada dahinya ada bekas sujud. [10]

Saya yakin tidak seorang muslim pun yang akan membenarkan tindakan Ibnu Muljim sang pengekor Khawarij yang telah membunuh salah seorang manusia terbaik dari umat ini yang penuh dengan keutamaan dan dijamin masuk sorga oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Saya kira akal yang masih sehat tetap tidak akan membenarkan kebejatan Ibnu Muljim yang nampak tegar menghadapi resiko perbuatannya, apalagi meneriakkan “Allahu Akbar!”. Ini kebenaran mujahidin. Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!”.

Yang jelas, kisah-kisah yang seperti di atas sangat banyak sekali, menunjukkan bahwa yang benar adalah apa yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun kebatilan dan kesesatan tidak akan menjadi benar, walaupun di dukung oleh berbagai keanehan yang di anggap ‘karamah’ oleh pelakunya.

Maka kami tegaskan disini bahwa aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh penulis dan teman-temannya adalah suatu kesesatan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang telah diterangkan. Sehingga ‘karamah’ apa saja yang mereka sebutkan, itu hanyalah permainan syaithan atau istidraj (berangsur-angsur ke arah kebinasaan) yang ditimpakan oleh Allah sehingga mereka semakin larut dalam kesesatannya. [11] Na’udzu billahi min dzalik.

Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am : 44)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para shahabat), Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115).

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (QS. Al-An’am : 110)

“Katakanlah, Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka (Allah) Yang Maha Pemurah melapangkannya.” (QS. Maryam : 75)



[1] Aku Melawan Teroris hal. 89-90.


[2] Telah berlalu takhrijnya.


[3] Telah berlalu takhrijnya.


[4] Aku Melawan Teroris hal. 98.


[5] Aku Melawan Teroris hal. 244.


[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3612, 3852, 6943.


[7] Kisahnya secara lengkap dalam Shohih Al-Bukhary no. 2731-2732 dan Abu Daud no.2765 dari hadits Miswar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhuma.


[8] Aku Melawan Teroris hal. 276.


[9] Aku Melawan Teroris hal. 83-86.


[10] Talbis Iblis karya Ibnul Jauziy hal. 272.


[11] Pada footnote 1 hal. 267, tertulis “Imam Samudra menuliskan mimpi-mimpinya yang benar (ru`yah shadiqah) dalam catatan khusus setebal ± 80 hal. Secara umum berisi mimpi yang kemudian terbukti terjadi. Karena alasan tertentu, tulisan tersebut tidak bisa dimuat.-editor.” Saya berkata, ini termasuk indikasi kuat bahwa syaithon atau bisikan diri sendiri telah mempermainkan penulis. Mungkin saja penulis ingin mengikuti jalan ‘Amr bin Luhayy yang membenarkan mimpinya, dan memang terbukti ia menemukan berhala-berhala sebagaimana dalam mimpinya tersebut, lalu ‘Amr membagi-bagi berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah Arab dan tersebarlah kesyirikan hingga Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di utus.

http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-kesesatan-4.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar