Rabu, 08 Februari 2012

Akar Kesesatan (3)

Akar Kesesatan Ketiga : KERANCUAN DALAM POKOK MANHAJ

Sebenarnya dalam dua dasar pemikiran Imam Samudra di atas, demikian pula yang akan datang, ada bentuk kerancuan dalam hal Manhaj. Namun disini ada beberapa kerancuan Manhaj yang selayaknya dikhususkan pembahasan terhadapnya. Yaitu kerancuan penulis berkaitan dengan makna Salafiyah.

Termasuk hal yang dibanggakan oleh Imam Samudra adalah pengakuannya bahwa dirinya berada di atas jalan Salaf-Shalih dan seluruh aksi Bom Bali yang dia lakukan bersama teman-temannya sangat dia yakini selaras dengan metode Salaf-Shalih.

Dan boleh saja seseorang mengaku berada di atas jalan Salaf, namun pengakuan tersebut tidaklah diterima kecuali jika telah terbukti bahwa dia telah mencocoki hakikat manhaj Salaf yang penuh dengan kejelasan dan perbuatannya tidak menyelisihi pengakuannya. Dan sangat disayangkan, kenyataan menuturkan bahwa Imam Samudra tidak memiliki seluruh hal tersebut.

Sebenarnya dari beberapa penyimpangan yang telah dijelaskan adalah lebih dari cukup menunjukkan jauhnya Imam Samudra dari jalan Salaf. Akan tetapi disini ada beberapa hal lain yang ingin kami uraikan berkaitan dengan kerancuannya memahami hakikat makna Salafiyah.

Perlu diketahui bahwa Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata (Salaf).

Dan Salaf itu sendiri dalam bahasa Arab adalah berarti yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari umat Islam.

Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu, yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan, karena itulah generasi pertama di kalangan tabi’in dinamakan As-Salaf Ash-Shalih.”

Adapun secara istilah, Al-‘Allamah Muhammad As-Saffarini Al-Hambaly rahimahullah menjelaskan, “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para sahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dari para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”. [1]

Dan berkata guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, “Dan kata Salafiyyah digunakan terhadap Jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….” [2]

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollahu ‘alhhi wa alihi wasallam,



فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya.” [3]

Maka jelaslah bahwa penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal, tapi karena jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawah oleh Rasulullah shollahu ‘alhhi wa alihi wasallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran baru, dan seterusnya dari anggapan-anggapan yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Tidak ada celaan terhadap orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya serta mengacuh kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab Salaf itu tiada lain kecuali hanya kebenaran.” [4]

Dan orang yang mengikuti jejak para ulama Salaf (Manhaj Salaf) mereka inilah yang dikenal juga dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqatun Najiyah, Ath-Tha`ifatul Manshurah, dan Ahlul Hadits.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Siapa yang berpendapat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’, maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.” [5]

Dan beliau juga menjelaskan, “Maka apabila sifat Al-Firqatun Najiyah adalah mengikuti para sahabat di masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, sedang itu adalah syi’ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah, maka Al-Firqatun Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah.” [6]



Nama-nama di atas adalah ciri dan sifat mereka yang membedakan mereka dengan seluruh kelompok yang menyimpang dari jalan yang lurus. Mungkin ada baiknya kami isyaratkan tujuh keistimewaan dari penamaan-penamaan di atas,

Satu : Penamaan-penamaan tersebut adalah nisbah kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, bukanlah suatu organisasi atau jaringan tertentu.

Dua : Kandungan makna dalam penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tanpa ada penambahan sedikit pun atau pengurangan.

Tiga : Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Empat : Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka serta menepis kebingungan yang melanda umat.

Lima : Ikatan wala` (loyalitas) dan baro` (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala` dan baro` di atas Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan ikatan wala` dan baro` karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok dan lain-lainnya.

Enam : Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut selain kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah, fanatisme mereka untuk golongan, kelompok, atau pemimpin.

Tujuh : Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun hal yang tercela menurut pandangan syari’at. [7]

Kemudian setelah mengetahui beberapa perkara di atas, harus dipahami bahwa mengikuti jalan para ulama Salaf bukanlah suatu alternatif belaka, bahkan ia adalah suatu kewajiban yang telah ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memberikan pahala dan keberuntungan bagi siapa yang mengikuti jejak para ulama Salaf,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)



Dan lambang keimanan dan petunjuk adalah dengan mengikuti jalan mereka, Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,


“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqorah : 137)

Bahkan Allah Jalla Jalaluhu telah menyatakan ancaman dan siksaan yang pedih terhadap mereka yang berpaling dari jalan Salaf,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para shahabat), Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115).

Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”. [8]

Dan dalam hadits perpecahan umat, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan,

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah semuanya dalam neraka kecuali satu, dan ia adalah Al-Jama’ah.” [9]

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’….” [10]

Setelah menelaah sekilas gambaran tentang hakikat Salafiyah atau Manhaj Salaf, berikut ini beberapa catatan terhadap Imam Samudra yang menunjukkan kerancuannya dalam memahami jalan Salaf-Shalih.

Kerancuan Pertama

Penulis berkata ketika menyebutkan beberapa perbedaan pendapat berkaitan dengan bom syahid, “Sebagian mufti Saudi Arabia yang dapat dipastikan sebagai qa’idun (tidak berjihad) ada yang menganggap haram, diikuti segelintir salafy irja’i di Indonesia yang juga menganggap haram….” [11] Kemudian setelah menderet seluruh pendapat yang dikantonginya, penulis berkata, “Tidak dapat diingkari, dalam kondisi seperti ini, umat Islam banyak dibingungkan oleh berbagai macam fatwa. Terlebih ketika fatwa atau komentar tentang bom syahid ini dinisbahkan atau dilebeli dengan cap salafi (baca: salafi irja’i, murji’ah), yang dipropagandakan secara gencar karena berbagai dukungan finansial dari Saudi Arabia dan negara lainnya. Disamping, pada saat yang sama, kelompok ini tidak mendapat penghalang yang berarti dari negara-negara kafir atau thaghut di masing masing negeri.” [12]

Tanggapan

Celaan terhadap para ulama bukanlah suatu hal yang mengherankan bila keluar dari mulut penulis setelah membaca dalam penjelasan-penjelasan yang telah lalu. Namun yang kami tanggapi disini adalah penyebutan fatwa ulama sebagai “fatwa atau komentar tentang bom syahid ini dinisbahkan atau dilebeli dengan cap salafi (baca: salafi irja’i, murji’ah)” dan orang yang meyakini benarnya fatwa tersebut sebagai “salafy irja’i”.

Apakah celaan penulis terhadap murji`ah dibangun di atas dasar pengetahuan tentang jeleknya paham tersebut? Adakah penulis menjelaskan definisi paham irja`i atau kelompok murji`ah? Apa dasar-dasar kesesatan mereka? Pernahkan penulis menemukan para ulama itu berpendapat bahwa “Amalan tidak termasuk dalam rangkaian iman” atau mereka menyatakan bahwa “Dosa sama sekali tidak membahayakan keimanan”?

Tidak ada jawaban yang bisa kita dapatkan dari penulis, namun kami yakin bahwa akibat jelek dari “mempelajari serba sedikit” dan sekedar “berdiskusi di alam nyata maupun internet” akan mewarnai pemahamannya dan telah kami jelaskan bahwa penulis dan yang semisalnyalah yang lebih layak dikatakan menganut paham irja`i.

Kemudian nampak dari penulis bahwa cap ‘salafy irja’i’ ia arahkan kepada sesuatu khusus dibangun di atas paham Khawarij yang dia tekuni. Perhatikan ucapannya, “Disamping, pada saat yang sama, kelompok ini tidak mendapat penghalang yang berarti dari negara negara kafir atau thaghut di masing masing negeri.” Dan simak juga ucapannya yang lain, “Seorang yang berzina akan dianggap kafir oleh Khawarij. Sedangkan seorang yang menyembah batu, yang telah jelas kesyirikannya, atau seorang yang menggganti hukum Islam dengan hukum yang lainnya secara sengaja, dalam pandangan Murji’ah dianggap sebagai ‘tidak apa-apa’.” [13]

Nampak dengan sangat jelas bahwa penulis hanya melagukan irama klasik para Khawarij masa kini dan tokoh-tokohnya yang menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan irja`i karena mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlak, akan tetapi Ahlus Sunnah memberikan rincian yang sangat detail berdasarkan dalal-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut menunjukkan fiqih yang sangat ilmiyah dan mendalam yang sangat aneh bagi kalangan penulis dan yang semisalnya. Dan rincian tersebut telah berlalu kesimpulannya.

Maka tuduhan tersebut hanyalah tuduhan klasik yang merupakan kebiasaan pengekor bid’ah dan kesesatan semenjak dahulu hingga sekarang. Pada saat ciri khas Ahlus Sunnah berada di garis pertengahan sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, antara kutub ekstrim dan kutub menyepelekan, maka Ahlus Sunnah pun menjadi sasaran tuduhan kelompok-kelompok menyimpang tersebut. Tatkala Ahlus Sunnah dalam hal pelaku dosa besar berada di pertengahan antara Khawarij dan Murji`ah, maka orang-orang Khawarij menyebut Ahlus Sunnah sebagai Murji`ah dan demikian pula sebaliknya. Begitu Ahlus Sunnah berada pertengahan dalam hal takdir antara Qadariyah dan Jabriyah, maka orang-orang Qadariyah menjuluki Ahlus Sunnah sebagai Jabriyah dan demikian pula sebaliknya. Dan dalam hal nama dan sifat Allah, Ahlus Sunnah pertengahan antara kelompok Mu’aththilah dan Musyabbihah, terdengar orang-orang Mu’aththilah menggelari Ahlus Sunnah Musyabbihah dan sebaliknya.

Kerancuan Kedua

Penulis berkata, “Pada abad 20-21 yang sekarang kita hidup di dalamnya, dunia Islam mengenal nama-nama ulama kaliber internasional yang berusaha menempuh manhaj Salafush-Shalih. Terlepas dari tuduhan Khawarij atau Murji’ah oleh pihak-pihak tertentu, mereka adalah…” kemudian ia menyebutkan sejumlah tokoh di antaranya Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, Aiman Azh-Zhawahiry, Sulaiman Abul Ghaits, Abdullah ‘Azzam. [14]

Tanggapan

Penyebutan nama-nama di atas dalam deretan “nama-nama ulama kaliber internasional yang berusaha menempuh manhaj Salafush-Shalih” dan “Terlepas dari tuduhan Khawarij atau Murji’ah” adalah menunjukkan kerancuannya dalam memahami manhaj Salaf. Dan sangat memperihatinkan sekali makar jahat penulis tatkala ia menderet nama-nama para tokohnya di samping nama Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin, Syaikh Al-Albany, Syaikh Muqbil Al-Wadi’i Al-Yamani dan Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly, kemudian setelah itu ia menyebut sebagian dari mereka sebagai ulama “qa’idun (tidak berjihad)”, “Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka” dan “kurang mengerti trik-trik politik”. Dan ini adalah gaya sebagian orang pergerakan di masa ini, kalau nama-nama ulama itu dibutuhkan maka mereka akan dipuji dengan pujian yang harum, namun bila fatwa mereka menyelesihi hawa nafsunya, maka mereka pun menjadi bulan-bulanan cercaan kotor dan tidak berakhlak.

Kerancuan Ketiga

Dan makar penulis yang lebih jahat lagi, setelah mencampuradukkan nama-nama di atas, penulis berkata, “Dalam masalah akidah, aku tidak mendapati perbedaan pendapat di antara mereka.”[15]

Tanggapan

Dan ini adalah sebuah makar atau kedustaan. Telah berlalu beberapa kerancuan pemikiran sebagian tokoh-tokohnya dan banyak lagi kerancuan lainnya yang tidak memungkinkan untuk diuraikan dalam kesempatan ini.

Penulis sangatlah mengetahui bahwa para ulama Ahlus Sunnah di masa ini sangat menentang aksi-aksi terorisme, bom bunuh diri –yang mereka sebut bom syahid-, pembangkangan terhadap pengusa muslim dan sejumlah masalah yang sangat ditentang oleh penulis dan yang semisalnya serta tokoh-tokoh mereka.

Kerancuan Keempat

Penulis berkata, “Dalam masalah akidah, aku tidak mendapati perbedaan pendapat di antara mereka. Adapun soal furu’ hal itu biasa terjadi. Dan Islam tidak melarangnya, selagi berada dalam koridor syari’at….” kemudian ia memberi beberapa contoh masalah furu’, diantaranya ia berkata, “Dalam masalah jihad aku berpegang pada fatwa para ulama mujahid, yang mereka terjun langsung dan terlibat dalam jihad seperti….” [16]

Tanggapan

Ucapan di atas adalah salah satu bukti kuat akan kerancuan dan dangkalnya penulis dalam memahami manhaj dan aqidah Salaf. Andaikata penulis pernah mempelajari buku-buku aqidah Salaf –walaupun hanya satu buku-, niscaya ia akan menemukan tentang wajibnya Jihad dibelakang penguasa yang baik maupun fajir, jihad akan tetap berlangsung hingga hari kiamat, dan lain-lainnya dari masalah jihad yang termaktub dalam buku-buku aqidah Salaf. Maka menggolongkan masalah jihad dalam rangkaian furu’ yang biasa terjadi silang pendapat padanya adalah suatu hal yang sangat keliru. Dan ini juga termasuk hal yang menyebabkan penulis banyak terjatuh dalam kesalahan seputar masalah jihad. Iya, sebagian aplikasi lapangan dan hukum-hukum jihad memang bisa dikategorikan dalam masalah furu’, namun menyebut secara global bahwa jihad termasuk masalah furu’ sama sekali tidak benar dan menyelisihi manhaj Salaf.

Kemudian kembali penulis menimbang dengan dua timbangan yang berbeda. Kalau memang jihad terhitung dalam masalah furu’ sebagaimana yang dia sangka, lantas kenapa mencerca para ulama Ahlus Sunnah yang fatwa-fatwa mereka berseberangan dengan hawa nafsunya? Bukankah pada masalah furu’ boleh saja terjadi silang pendapat? Bukankah Islam tidak melarangnya?

Dan gaya yang tidak adil seperti ini termasuk kebiasaan para pengekor kesesatan dan bid’ah. Wallahu A’lam.



[1] Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyah 1/20.


[2] Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21.


[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 6285-6286 dan Muslim no.2450 dari hadits ‘Âiysah radhiyallahu ‘anha.


[4] Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149.


[5] Majmu’ Fatawa 3/346.


[6] Minhajus Sunnah 3/345.


[7] Baca : Hukmul Intima` hal. 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/46-47.


[8] Telah berlalu takhrijnya.


[9] Hadits Shohîh, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Amr, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Auf bin Malik, Abu Umamah, Anas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Jabir, Sa’ad bin Abi Waqqash, Watsilah bin Al-Asqa’, Abu Darda`, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany, ‘Ali bin Abi Thôlib dan Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhum ajma’în. Baca Basho`ir Dzawi Asy-Syaraf bi Marwiyyat Manhaj As-Salaf hal. 91-93.


[10] Baca Dzammut Ta`wil hal. 28-36. Dan padanya juga ada pembahasan kewajiban mengikuti Salaf.


[11] Aku Melawan Teroris hal. 171.


[12] Aku Melawan Teroris hal. 171-172.


[13] Aku Melawan Teroris hal. 58.


[14] Aku Melawan Teroris hal. 64.


[15] Aku Melawan Teroris hal. 64.


[16] Aku Melawan Teroris hal. 64.

http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-kesesatan-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar