Rabu, 08 Februari 2012

Meneliti Kembali Sanad Hadits: Wanita yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah”

Bismillahirrahmanirrahim

Menyikapi sebuah hadits memang harus ekstra hati-hati, karena sangat berkaitan dengan kehidupan kita sebagai seorang muslim. Tentu, kita sebagai seorang muslim yang memiliki ilmu agama yang sangat minim, haruslah merujuk kepada arahan para ulama’ disetiap bidangnya. Ketika kita ingin menshahihkan sebuah hadits atau medha’ifkannya juga harus berpegang dengan arahan-arahan para ulama’ Ahlul Hadits. Karena merekalah orang yang memiliki pengalaman yang demikian dalam tentang ilmu hadits.

Untuk mempersingkat waktu, pada kesempatan kali ini kami ingin mengajak anda mengkaji bersama riwayat hadits

Wanita yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Fatimah

dan dari kalangan laki-laki adalah Ali.

Sebenarnya riwayat ini telah kami angkat pada beberapa edisi lalu. Subhanallah! Ternyata dengan cepatnya tulisan kami tersebut mendapat tanggapan. Kami ucapkan Jazahullahu Khairan kepada saudara yang memiliki ghirah yang sangat tinggi terhadap Al Haq. Akan tetapi, ketika kami melihat bahwa tanggapan tersebut tidak sesuai dengan kaedah yang diletakkan oleh para ulama’ Ahlul hadits, perlu kiranya kami meluruskannya kembali, semoga Allah selalu memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.



Warna merah: Pernyataan Syaikh Al Albani

Warna Biru: Tanggapan

Warna Hitam: Pelurusan dari kami



* * *



Ketika mengomentari ucapan Syaikh Al Albani rahimahullah,

“(Adapun) Abdullah bin Atha’, Imam Dzahabi sendiri mengatakan dalam kitabnya Adh Dhu’afa’, ‘berkata Nasa’i, ‘tidak kuat.’ Dan Al Hafizh berkata dalam Taqrib, ‘Jujur, tapi salah (dalam meriwayatkan hadits) dan (ia seorang) mudallis.’.”



Saudara Secondprince berkata,

“Adz Dzahabi berkata dalam kitabnya Mughni Adh Dhu’afa bahwa Abdullah bin Atha’ adalah Gurunya Syu’bah yang dinyatakan tsiqat,

berkata Nasa’I ‘tidak kuat’.

Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2860 justru mengatakan kalau Abdullah bin Atha’ shaduq(jujur). Dan begitu pula yang beliau sebutkan dalam Mizan Al I’tidal biografi no 4451 Shaduq Insya Allah. Jadi dalam pandangan Dzahabi sendiri Abdullah bin Atha’ adalah seorang yang jujur.

Ibnu Syahin dalam Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 622 berkata bahwa Abdullah bin Atha’ perawi kufah yang tsiqat.

Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 5 no 551 disebutkan bahwa Abdullah bin Atha’ adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan(ini berarti walaupun Imam Nasa’I mengatakan ia tidak kuat beliau tetap menulis hadis Abdullah dalam Kitab Sunannya),

Imam Tirmidzi berkata bahwa ia tsiqat di sisi ahli hadis, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Ibnu Main juga menyatakan ia tsiqat.



Perlu diperhatikan, yang dipermasalahkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah bukanlah keadaannya sebagai seorang yang tsiqah, shaduq atau dha’if, tetapi keadaannya sebagai seorang mudallis. Terlebih, ketika ia meriwayatkan hadits ini dengan sighah ‘an (dari) atau yang disebut dengan sighah ‘an’anah.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perawi yang di cap sebagai mudallis tentu haditsnya tidak bisa diterima begitu saja walaupun ia seorang yang tsiqah.



Ibnu Sholah Rahimahullah Ta’ala berkata, “Jika ia (perawi yang mudallis) berterus terang (dalam periwayatannya) menggunakan sighoh ittishal, seperti: ‘Aku mendengar’, ‘Telah menceritakan kami’, dan ‘telah mengkabarkan kami.’ Maka riwayatnya diterima dan bisa dijadikan hujjah. (Akan tetapi) jika ia menggunakan lafazh yang mengandung kemungkinan (mendengar atau tidak, seperti ‘an, anna atau Qola) maka hukumnya seperti hadits mursal (tidak diterima alias lemah).”

Oleh karena itu Syaikh Al Albani melanjutkan,

(ia seorang mudallis) dan pada sanad ini meriwayatkan dengan ‘an’anah, perawi seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah walaupun ia tsiqah. Terlebih, jika ternyata ia hanya seorang yang shaduq (kedudukan shaduq dibawa kedudukan tsiqah).

Ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani memang memiliki keilmuwan yang demikian dalam tentang ilmu hadits, bagaimana beliau bisa membedakan mana hadits shahih dan mana hadits yang lemah. dan bagaimana beliau memisahkan antara perawi yang tsiqah bukan mudallis dan perawi yang tsiqah atau shaduq yang mudallis. Akan tetapi sangat disayangkan, ucapan ilmiyyah dari Syaikh Al Albani ini justru ditanggapi lain oleh Saudara Secondprince,

Sudah jelas bahwa beliau adalah tsiqah, dan dalam hadis ini memang beliau meriwayatkan dengan ‘an’anah tetapi beliau tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini.

Mungkin yang maksud Saudara Secondpirnce dengan ucapannya “tetapi beliau tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini.” Adalah riwayat Abdullah bin ‘Atho, Insya Allah akan kami jelaskan pada tempatnya. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa Imam Tirmidzi sendiri selaku periwayat hadits, berkata diakhir pembahasannya, “Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hanya dari jalur ini.” Alias tidak ada jalur lain yang menemaninya.



Dan sebagaimana disebutkan dalam At Tahdzib kalau Abdullah bin Atha’ memang meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Buraidah.

Para pembaca rahimakumulah, dari kalimat ini seakan-akan Saudara Secondprince tidak mempermasalahkan jika seorang mudallis meriwayatkan dari syaikh yang ia pernah meriwayatkan darinya, dengan kata lain yang dipermasalahkan hanyalah seorang mudallis meriwayatkan dari syaikh yang tidak ia kenal (belum pernah berjumpa/meriwayatkan). Sepertinya Saudara Secondprince tidak paham atau pura-pura tidak paham. Padahal jika kita memperhatikan apa yang dimaksud dengan tadlis, mudallis, dan mudallas justru apa yang disebutkan oleh Saudara Secondprince itulah yang disebut tadlis. Karena defenisi tadlis (isnad) adalah, “Seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari syaikhnya yang kebetulan (hadits tersebut) tidak didengar langsung darinya, akan tetapi dia menyampaikan hadits tersebut dengan bentuk yang mengesankan kalau ia memang mendengarnya, seperti: ‘an (dari), anna (bahwasanya), atau qola (ia berkata).”

Sebagai contoh, Abdullah bin ‘Atha pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah, dan semua orang tahu kalau Abdullah bin Buraidah adalah gurunya. Akan tetapi Abdullah bin ‘Atha pernah suatu kali tidak mendengar hadits tertentu langsung dari Abdullah bin Buraidah disebabkan beberapa perkara, ia mendengar dari temannya. Kemudian, ketika menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya, ia menggunakan istilah yang mengesankan kalau hadits itu memang pernah didengarnya langsung dari syaikhnya (tanpa menyebutkan temannya tadi), seperti: ‘an (dari), anna (bahwsanya), qala (ia berkata).

Nah, inilah yang disebut perbuatan tadlis, pelakunya disebut mudallis dan haditsnya disebut mudallas.

Adapun jika Abdullah bin Atho tidak pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah maka haditsnya disebut Mursalul Khafi.



Disebutkan dalam Thabaqat Al Mudallisin bahwa ia seorang mudallis martabat awal, yang berarti tidak terlalu parah tadlisnya dan tidak merusak hadisnya. Jadi tidak bisa begitu saja dikatakan tidak menjadi hujjah.



Berkaitan dengan Abdullah bin ‘Atho, Ibnu Hajar dalam kitabnya Ta’rifu Ahlit Taqdis bi Maratibil Maushufin bit Tadlis mengatakan, “Perbuatan tadilisnya sangat masyhur/terkenal.” Dan beliau ulangi lagi dalam kitabnya Taqrib Tahdzib, “Abdullah bin ‘Atho Ath Thaifi asalnya dari Kufah, ia jujur akan tetapi salah dan melakukan tadlis.”



Ketika ia telah disifati sebagai mudallis maka tidak boleh sembarangan untuk menerima haditsnya walaupun ia tsiqah terlebih shaduq.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Nuzhatun Nazhar poin ke 24 menjelaskan, “Hukum perawi yang telah ditetapkan berbuat tadlis apabila ia seorang yang adil (tsiqah), agar tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia berterus terang menggunakan sighah tahdits (seperti, haddatsa, akhbarana, dsb) atas pendapat yang benar.”



Sebagian ahlul hadits berkata, “Barangsiapa yang dikenal dengan tadlis jadilah ia rawi yang terkritik dan ditolak riwayatnya.” (Tadrib Rawi 1/168)



Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarhul Muhadzdzab menukilkan kesepakatan ulama atas tidak diterimanya ‘an’anah seorang mudallis, pendapat inilah yang dipegang oleh Al Baihaqi dan Ibnu ‘Abdil Barr.



Imam Suyuthi setelah menyebutkan khilaf para ulama’ tentang masalah ini, beliau menyimpulkan, “Yang benar harus dirinci, jika ia (perawi mudallis) menggunakan lafazh yang ada kemungkinan (mendengar atau tidak, seperti ‘an), ia tidak menjelaskan pada riwayatnya itu mendengar langsung maka riwayatnya mursal (tidak diterima). Tetapi jika ia menjelaskan dengan lafazh, aku mendengar, telah menceritakan kami, telah mengkhabarkan kami, dan yang semisalnya maka riwayatnya diterima. Dalam Ash Shahihain dan selain keduanya contohnya banyak sekali…” (Tadrib Ar Rawi 1/169)



Ibnu Jama’ah berkata, “Barangsiapa yang dikenal sebagai mudallis maka ia terkritik menurut sebagian pakar hadits, tidak diterima riwayatnya baik ia menjelaskan dengan sama’ (mendengar langsung) atau tidak. Tetapi yang rajih adalah ditafshil….(kemudian beliau merinci seperti diatas).” (Minhal Ar Rawi fii Mukhtashar Rawi An Nabawi hal 72)



Sebagian pakar hadits lain mengecualikan beberapa perawi mudallis yang bisa diterima riwayatnya walaupun menggunakan lafazh ‘an dan yang semisalnya disebabkan beberapa perkara, seperti Qotadah, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Ats Tsauri, dan yang lainnya.



Setelah mengamati penjelasan beberapa pakar hadits diatas, maka kita tahu bahwa riwayat Abdullah bin ‘Atho tidak bisa diterima, karena ia seorang mudallis dan dalam hadits ini ia meriwayatkan menggunakan ‘an’anah.

Atas dasar ini, hadits ini adalah mudallas hukumnya seperti mursal. Terlebih, ketika yang meriwayatkan darinya adalah Ja’far bin Ziyad Al Ahmar, seorang yang sering salah dalam meriwayatkan hadits dan berpaham syi’ah. Bahkan disebutkan oleh cucunya sendiri bahwa ia adalah gembong syi’ah untuk daerah Khurasan. Walaupun sebagian ulama’ menganggapnya tsiqah akan tetapi kesimpulan dari keadaannya adalah seperti yang disebutkan Ibnu Hibban, “Sering meriwayatkan dari Adh Dhu’afa’ (perawi lemah), jika meriwayatkan dari perawi tsiqah ia bersendirian dan sering terbolak balik.”

Sungguh tepatlah pernyataan Syaikh Al Albani,

“(jika perawinya) seperti dia (sering salah dan berpaham Syi’ah) maka hati ini tidak tenang terhadap haditsnya, terlebih ketika berbicara tentang keutamaan Ali radhiallahu ‘anhu. Karena sudah diketahui, bagaimana sikap berlebihan Syi’ah terhadap Ali, dan demikian banyaknya mereka membuat hadits-hadits dusta tentang keutamaannya.”



Riwayat kedua:

Berkata Saudara Secondprince,

Hadis dengan makna seperti ini juga diriwayatkan dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3874 dan Mustadrak Al Hakim no 4744 dari Jami’ bin Umair menceritakan “Aku bersama Bibiku menemui Aisyah RA dan bertanya kepadanya, Siapa orang yang paling dicintai Rasulullah SAW? Ia menjawab Fatimah. Aku kemudian bertanya “dan diantara laki-laki?”. Ia menjawab “suaminya”. Mengenai hadis ini Imam Tirmidzi berkata ”hasan gharib” dan Al Hakim menyatakan hadis ini shahih.

Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak menyatakan Jami’ tertuduh. Aisyah sama sekali tidak mengucapkan kata-kata itu. Pernyataan Adz Dzahabi adalah kurang tepat. Jami’bin Umair adalah memang tertuduh Syiah tetapi beliau adalah Tabiin yang tsiqah.

Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 177 disebutkan

Abu Hatim berkata “Dia orang Kufah, seorang Tabiin dan Syiah yang terhormat. Dia jujur dan baik hadisnya”.

Al Ajli berkata “Dia seorang Tabiin yang tsiqat”

As Saji berkata “Dia memiliki hadis-hadis munkar, dia bisa dipertimbangkan dan dia itu jujur”

Bukhari berkata “Dia bisa dipertimbangkan”

Ibnu Adi berkata “Dia seperti yang dikatakan Bukhari,hadis-hadisnya bisa dipertimbangkan. Hadis yang diriwayatkannya umumnya tidak diikuti orang”

Ibnu Numair berkata “Dia seorang yang paling banyak berdusta. Dia pernah berkata sesungguhnya burung jenjang itu beranak di langit dan anaknya tidak jatuh”

Ibnu Hibban berkata “Dia itu Rafidhah yang memalsukan hadis”



Rasanya ada beberapa terjemahan Saudara Secondprince yang perlu dijelaskan lagi,

Ketika menterjemahkan komentar Al Bukhari, “Dia bisa dipertimbangkan.” Kalimat aslinya adalah Fiihi Nazhar (perlu diperiksa lagi), kalimat ini biasa digunakan oleh muhaditstsin sebagai jarh/kritikan atau ketidak setujuan.



Para pembaca rahimakumullah, Sebenarnya dari uraian para ulama’ yang disebutkan Saudara Secondprince diatas sudah jelas menunjukkan bahwa Jami’ atau Jumai’ bin Umair adalah perawi yang tidak bisa dipakai, dari 8 pakar hadits diatas hanya Abu Hatim dan Al Ijli saja yang menyatakan tsiqah, itupun disebabkan Al Ijli dikenal sebagai mutasahil fit ta’dil (Bermudahan dalam memberikan ta’dil) selebihnya menjarh dengan jarh yang amat pedas.



Adz Dzahabi, “Tertuduh pemalsu hadits.”



Al Bukhari, “Fihi Nazhar (Perlu diperiksa lagi).”



Ibnu ‘Adi, “Apa yang disebutkan Al Bukhari memang benar, haditsnya fiihi nazhar, kebanyakan riwayatnya tidak ada yang menemaninya (alias sendirian).” Pernyataan seperti ini memiliki faedah yang besar, ketika ia seorang rawi yang memiliki keadaan yang buruk kemudian tidak ada jalan lain yang menguatkannya maka jadilah riwayatnya lemah atau bathil.



Ibnu Numair, “Ia termasuk orang yang paling pendusta…..”



Ibnu Hibban, “Ia seorang Rafidhah, pemalsu hadits.”



As Saji, “lahu ahadits manakir (istilah kasar untuk melemahkan perawi), dan fiihi nazhar, ia shaduq.”



Maka atas dasar kesaksian dari para ulama’ diatas, Jami atau Jumai’ bin Umair adalah rawi yang tidak bisa dipakai, karena ia memiliki sekian banyak cacat: Pemalsu hadits, haditsnya perlua dikaji lagi, pendusta, haditsnya munkar, tertuduh, salah dalam meriwayatkan hadits.

Maka sangat keliru ketika Saudara Secondprince menyimpulkan bahwa Jami’ adalah perawi tsiqah. Bahkan Ibnu Hajar dan Abu Hatim tidak menjulukinya tsiqah.

Setelah itu Saudara SP kembali melanjutkan,

Mengenai Jarh terhadap Jami’ maka pembahasannya sebagai berikut

Soal tuduhan dusta Ibnu Numair, beliau menampilkan alasan yang aneh karena cerita burung jenjang itu sendiri adalah suatu keanehan dan tidak berkaitan dengan kredibilitas meriwayatkan hadis.

Tentu ya Saudara Secondprince, kedustaan memiliki pengaruh besar terhadap kredibilitas seorang rawi, karena yang dimaksud perawi ‘adl/tsiqah adalah: “Perawi yang memiliki perangai baik yang membawa pelakunya untuk selalu melakukan ketaqwaan, menjauhi perbuatan dosa, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bisa menghilangkan kewibawaannya.” (Ta’liqat Atsariyyah ‘alal Manzhumah Al Baiquniyyah hal 31)

Maka seorang rawi yang berdusta berarti ia memiliki perangai buruk, membawa dirinya melakukan perbuatan buruk, melakukan perbuatan dosa, dan menjatuhkan kewibawaannya.” Pantaskah perawi seperti ini dikatakan tsiqah??



Soal pernyataan Ibnu Hibban, hanya beliau sendiri yang menganggapnya pemalsu hadis tetapi tidak disertai dengan bukti yang jelas, oleh karena itu pernyataan beliau tidak bisa menjadi sandaran selagi terdapat banyak pujian ulama lain kepada Jami’ bin Umair.

Sabar wahai Saudara Secondprince, jangan terburu-buru! Imam Dzahabi juga menjuluki beliau sebagai muttaham sebagai Pemalsu hadits, dan tidak ada ulama’ yang mengingkarinya. Lagi pula tidak ada yang memujinya kecuali hanya 2 orang saja.



Soal tuduhan meriwayatkan hadis mungkar, maka jelas tidak ada kemunkaran dalam hadis di atas(akan dijelaskan nanti) dan As Saji pun tetap menyatakan beliau jujur walaupun menurutnya hadis Jami’ terkadang munkar.

Makna Munkar adalah, “Riwayat rawi dha’if menyelisihi riwayat rawi tsiqah.”

Maka demikianlah keadaan riwayat ini, menyelisihi riwayat-riwayat para perawi yang tsiqah sebagaimana yang telah kami jelaskan pada edisi lalu.



Mengenai pernyataan Ibnu Ady bahwa riwayatnya tidak diikuti orang maka itu tidak ada kaitannya dengan hadis ini. Karena hadis ini sudah kita lihat diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Atha’. Kedua riwayat ini jelas saling menguatkan.



Dengan pertimbangan di atas maka kami menilai bahwa hadis Jami’ bin Umair ini sanadnya Hasan dan dikuatkan oleh hadis Abdullah bin Atha’ sehingga dapat dikatakan Shahih lighairihi.



Saudara Secondprince, jangan terlalu terburu-buru untuk menghukumi kedua sanad ini, sanad hadits Jami’ bin ‘Umair tidak bisa dijadikan sebagai mutaba’ah, karena mutaba’ah memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah keadaan sanad yang dijadikan mutaba’ah tidak Syadid Dha’f (lemah sekali). Adapun perihal Jami’ bin Umair keadaannya adalah, Pemalsu hadits, perlua dikaji ulang, pendusta, haditsnya munkar, tertuduh, salah dalam meriwayatkan hadits. Maka sekali lagi, sanad hadits ini tidak sah sesuai dengan kaedah ilmu mustholah untuk dijadikan sebagai mutaba’ah.

Kesimpulannya adalah, riwayat Abdullah bin ‘Atho tetap lemah karena tidak ada sanad lain yang menguatkannya dan riwayat Jami’ bin Umair bathil karena ia telah tertuduh sebagai pemalsu hadits.



Sekedar informasi, hadis Jami’ bin Umair ini telah dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani sendiri dalam Misykat Al Mashabih juz 3 hal 342 hadis no 6146. Anehnya dalam As Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah beliau mengatakan kalau hadis Jami’ bin Umair ini batil. Sepertinya syiahpobhia membuat beliau mengantagonis dirinya sendiri.



Sebenarnya, kalau kita sering mengkaji kitab-kitab para Ulama’ Ahlus Sunnah, masalah-masalah seperti ini sudah biasa. Bahkan sering kita dapati ulama’ terdahulu dalam satu perkara memiliki dua sampai tiga pendapat. Karena memang mereka berfatwa sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka. Ketika mereka berfatwa dengan sebuah fatwa yang berdasarkan dalil yang ia ketahui, namun ternyata beberapa tahun kemudian ia berfatwa dengan fatwa lain karena mendengar hadits yang belum pernah ia dengar sebelumnya atau dikarenakan dalil yang ia jadikan hujjah adalah lemah.

Demikian pula dalam menghukumi sebuah hadits, tak jarang kita mendapati seorang imam tertentu memiliki dua pendapat, yang pertama menshahihkan kemudian mendha’ifkan atau sebaliknya, ini disebabkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah keadaan rawi yang semula ia anggap tsiqah ternyata kurang tepat. Demikianlah keadaan ulama’. Ini semua menunjukkan bahwa mereka selalu berusaha untuk mengikuti Al Haq, mereka tidak segan atau malu untuk kembali dari kekeliruan kepada kebenaran.

Demikian juga yang terjadi pada diri Syaikh Al Albani Rahimahullah Ta’ala, tak jarang dalam berbagai karyanya kita dapati beliau rujuk, yang semula menshahihkan kini berganti mendha’ifkan atau sebaliknya. Maka tidak benar kalau dikatakan beliau mendha’ifkan hadits ini hanya disebabkan kebenciannya terhadap pihak tertentu, tentu beliau sangat jauh dari sifat ini, semuanya beliau hukumi secara ilmiyah menurut kaedah ilmu hadits yang dipakai ulama’ terdahulu. Sebagai contoh, ketika beliau menghukumi sebuah hadits yang berbicara tentang hukum buang hajat (lihat: Misykah no356), semula beliau mendha’ifkannya karena ada dua cacat fatal pada sanadnya, ternyata beberapa tahun kemudian beliau menshahihkannya dikarenakan ada jalur lain yang menguatkannya, beliau berkata, “Sekarang, baru kami dapati dari Ibnu Qaththan Jazahullahu Khairan sanad yang bagus ini dari selain jalur Ikrimah bin Ammar. Maka wajib untuk memindahkan (hadits ini) dari Dha’if Abi Daud ke Shahih Abi Daud, dari Dha’if Al Jami’ ke Shahih Al Jami’, dari Dha’if At Targhib ke Shahih At Targhib, dan dari Dha’if Ibnu Majah ke Shahih Ibnu Majah.”



Dalam tempat lain, ketika beliau rujuk dari sebuah hadits yang semula beliau shahihkan kemudian beliau dha’ifkan, “Dahulu aku sempat lalai dari cacat ini ketika aku mentakhrij kitab Syarhu Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, aku pun menshahihkannya (no. 516) karena hanya melihat pada zhahir sanad, sekarang aku rujuk darinya, hanya Allah lah yang memberi taufik dan aku memohon ampun kepada-Nya atas kekeliruanku…”

Demikian pula ketika beliau rujuk dari menghukumi sebuah hadits yang semula mendha’ifkannya kemudian memaudhu’kannya, “Inilah yang aku sebutkan dalam kitabku Dha’if Al Jami’. Sekarang, aku telah meneliti sanadnya yang muzhlim dan aku perhatikan matannya maka tampaklah bagiku bahwa hadits ini maudhu’. (Adh Dha’ifah no3272)

“Sekarang, aku telah teliti sanadnya, maka aku rujuk yang semula menghukuminya dha’if menjadi maudhu’ disebabkan riwayat rawi kadzdzab ini…” (Adh Dha’ifah no3290)



Bahkan beliau tidak segan-segan menerima Al Haq dari siapa saja, “Inilah sebatas yang aku ketahui ‘dan diatas setiap pemilik ilmu masih ada yang lebih berilmu lagi’. Maka barangsiapa yang memiliki faedah bisa memberikannya kepada kami Insya Allah dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no1489)

“Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang keduanya (ketika berbicara suatu sanad) silahkan menghubungi kami, masykuran dan Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no140)

Dan tidak jarang beliau menerima masukkan dan pembenaran dari murid atau temannya sendiri, “Aku tidak menemukan lafazh seperti ini, akan tetapi seorang ikhwah memberikanku faidah Jazahullahu Khairan ….”

“Kemudian yang aku pandang benar dalam Dzammul Hawa hal 39 karya Ibnul Jauzi dari jalur Al Khathib dengan arahan salah seorang ikhwah Jazahullahu Khairan.” (Adh Dha’ifah no2460)



Demikianlah akhak para ulama’ yang patut kita teladani, bagaimana mereka tidak malu untuk menerima Al Haq dari siapa, kapan, dan dimana saja, serta tidak malu untuk rujuk dari kesalahan, Semoga Allah merahmati mereka semua.

Salah/keliru adalah suatu kewajaran, karena memang kita bukanlah orang yang makshum, tetapi sudah tidak menjadi suatu kewajaran ketika kita terus dalam kesalahan dan tidak mau rujuk darinya.



Demikianlah kajian sanad yang dapat kami suguhkan pada kesempatan kali ini sebagai pelurusan dan tanggapan terhadap tulisan Saudara Secondprince.



Tanbih: Pada tulisan kami ini hanya menanggapi seputar riwayat hadits, walaupun masih sangat banyak dari tulisan Saudara Secondprince yang perlu diluruskan.

Jazakumullahu Khairan

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

http://haulasyiah.wordpress.com/2008/11/22/mengkaji-lagi-hadits-wanita-yang-paling-dicintai-rasulullah-saw-adalah-fatimah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar