Rabu, 08 Februari 2012

Akar Kesesatan (1)

Berikut ini akan kami terangkan beberapa dasar dan akar pemikiran Imam Samudra yang mewarnai berbagai kesalahan dan kesesatan yang terdapat dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”.

Dan penjelasan tentang dasar dan akar kesesatan ini kami mengharapkan dari para pembaca untuk memperhatikannya secara cermat dan menumbuhkan kehati-hatian dalam diri agar tidak terjatuh dalam hal-hal yang seperti itu. Karena akar dan dasar kesesatan tersebut merupakan bagian dari pokok-pokok dasar kesesatan sejumlah kelompok menyimpang dari masa ke masa.



Diantara dasar dan akar kesesatan Imam Samudra dalam bukunya “Aku Melawan Terorisme” adalah:

Akar Kesesatan Pertama : PEMAHAMAN KHAWARIJ.

Kami mendapati pada Imam Samudra terdapat beberapa bentuk pemahaman Khawarij. Rincian sebagai berikut,

1. Paham Takfiry

Penulis berkata, “23 Mei 1924, mercusuar terakhir, benteng terakhir umat Islam, tumbang sudah. Pengkhianatnya yang bernama Mustafa Kamal At-Taturk, seorang pezina keturunan Yahudi Donama. Lewat tangan najislah Kekhalifahan Utsmaniyah (Turki Utsmani) runtuh. Dan mulai detik itu tak ada lagi Khilafah Islamiyah. Detik itu juga sorak kemenangan dan kegembiraan Yahudi bersama Salibis Internasional membahana, karena memang itulah yang mereka harapkan.

“Jika kamu memperoleh kebaikan, maka mereka akan berduka cita, dan jika kamu ditimpa keburukan, maka mereka bergembira dengan hal itu”…(Ali-Imran: 120).

Saat Khilafah Islamiyah musnah, dunia kembali ke zaman jahiliyah…” [1]

Tanggapan

Perhatikan kalimat “dunia kembali ke zaman jahiliyah” yang terkandung di dalamnya hukum umum kepada seluruh dunia kembali ke masa jahiliyah.

Harus diketahui bahwa jahiliyah artinya adalah masa sebelum Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam diutus kepada manusia. Dan jahiliyah dari kalimat jahil yang bermakna tidak mengetahui dan tidak memiliki ilmu, yaitu jahil terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak-hak-Nya terhadap seluruh hamba, jahil terhadap apa yang diperintah oleh Allah berupa agama maupun ketaatan dan seterusnya. Dan jahiliyah ini meliputi kaum musyrikin Arab, Yahudi, Nashoro, Majusy dan lain-lainnya.

Maka kalau dikatakan “dunia kembali ke zaman jahiliyah”, maka tidak tersisa lagi keislaman di muka bumi ini. Dan ini termasuk paham Takfiry (pengkafiran) yang banyak didengung-dengungkan oleh sejumlah tokoh pergerakan terselubung di masa ini seperti kalimat “Jahiliyah abad ke-20”, “Masa jahiliyah” dan sebagainya.

Berkata guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, “Karena itu, tidak boleh mengatakan “Manusia berada dalam kejahiliyaan” atau “Alam dalam kejahiliyaan”, karena ini adalah penentangan terhadap adanya kerasulan, dan penentangan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka (penggunaan) mutlak seperti ini tidak boleh.” [2]

Maka seorang muslim yang paham akan hakikat agamanya, tidaklah boleh menggunakan kalimat jahiliyah ini secara mutlak/umum, sebab setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di utus kepada manusia tidak ada lagi jahiliyah mutlak. Bukankah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menyatakan,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [3]

Bahkan Allah Jalla Jalaluhu menegaskan,

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)

Dua nash diatas menunjukkan bahwa jahiliyah mutlak tidak lagi ada setelah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam diutus kepada manusia, pasti pada setiap masa semenjak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam diutus ada sekolompok manusia yang terus menerus menampakkan agama Allah.

Adapun penggunaan jahiliyah secara muqayyad (terbatas) pada suatu tempat atau orang tertentu, tidaklah mengapa kalau memang penggunaan kalimat jahiliyah tersebut sesuai dengan timbangan syari’at. Namun penulis pada kalimatnya di atas menggunakan kalimat jahiliyah mutlak yang sama sekali tidak memberi pengecualiaan. Dan ini termasuk kebiasaan orang-orang yang menganut paham takfiry yang selalu menggunakan kalimat-kalimat umum tanpa memberikan perkecualian atau uraian penjelasan, padahal masalah-masalah tersebut memuat rincian-rincian detail dan hukum yang berbeda.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Dan adapun kalimat-kalimat yang global, berbicara tentangnya dengan bentuk menafikan atau menetapkan tanpa memberikan rincian akan menjatuhkan kepada kejahilan, kesesatan, fitnah, kebinasaan dan qila wa qala (ketidakjelasan). Dan telah dikatakan bahwa kebanyakan perselisihan orang-orang yang berakal dari arah nama-nama yang multi tafsir.” [4]

Dan berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “…Maka asal kesesatan anak Adam adalah karena kalimat-kalimat yang global dan makna-makna yang samar, apalagi bila menjumpai pemikiran-pemikiran yang goncang.” [5]

Kemudian perhatikan juga ucapan penulis yang memberikan hukum umum tanpa ada rincian atau perkecualian, “Ketiadaan Khilafah atau Daulah Islamiyah saat ini, tidak menghalangi terselenggaranya jihad. Seharusnya ketiadaan Khalifah atau Amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti atau tertunda.” [6]

Tanggapan

Bila sekarang tidak ada lagi negara Islam (Daulah Islamiyah), maka seluruh negara yang merupakan tempat-tempat kaum muslimin hidup disebut negara apa?

Bila sekarang tidak ada lagi Khalifah, -bahkan dalam skala yang lebih sempit- tidak ada lagi Amir (pemimpin) Islam, jadi seluruh pemimpin negara yang beragama Islam di berbagai belahan bumi saat ini dianggap apa?

Jawaban sangat jelas bagi mereka yang berpemahaman takfiry seperti penulis dan teman-temannya.

Dan jangan lupa mengamati ucapan penulis yang lainnya, “Kerusakan telah wujud, kekacauan telah terjadi, kaum Mukmin telah kehilangan jati diri. Tak ada lagi perlindungan (atau terlalu sedikit) bagi mereka yang tertindas dan teraniaya. Tak ada lagi pembelaan terhadap mereka yang menjerit sampai kehabisan suara. Tak ada lagi pertolongan terhadap mereka yang memekik, menangis dan meronta, dirusak dan diperkosa kehormatannya oleh binatang-binatang biadab bernama Amerika dan sekutunya. Kaum muslimin telah mati, tinggal nama dan ritual kosong tanpa makna. Lautan buih. Kaum muslimin telah tenggelam dalam keegoan individualistis, terbuai dalam gema popularitas, telah mabuk dalam kesibukan dunia masing-masing. Kaum muslimin telah terhuyang dalam tipu daya kaum kafir yang telah mempertuhankan demokrasi.” [7]

Dan penulis juga berkata, “Merekalah, mereka; Megawati dan seluruh kaki tangan pemerintahannya yang harus menyesal. Mereka wajib menyesal karena telah hidup di atas jalan yang salah, mereka hidup dalam way of life yang sesat, jalan hidup jahiliyah.

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? (Al-Ma’idah: 50).” [8]



Tanggapan

Perhatikan hukum umum yang terlontar dari penulis terhadap mantan Presiden Megawati dan seluruh kaki tangan pemerintahannya bahwa mereka hidup di atas jalan yang salah dan sesat, jalan hidup jahiliyah. Ini adalah sikap orang-orang berpemahaman Khawarij dalam menjatuhkan hukum umum kepada pemerintah dari yang paling atas hingga paling bawah tanpa memberi pengecualian sama sekali atau tidak memandang ada udzur bagi siapa pun walau sebagian dari mereka.

Cermati hukum umum yang dilontarkan oleh penulis bahwa mereka hidup di atas jalan jahiliyah, apa maksud kalimat “jahiliyah” dalam ucapan penulis di atas?

Jawabannya nampak dari konteks pembicaraannya dan dari ayat yang ia sebutkan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tapi berhukum dengan hukum jahiliyah. Dan itu adalah hal yang menyebabkan mereka kafir.

Mungkin ada yang bertanya, “Dari mana anda menyimpulkan bahwa penulis memandang mereka itu kafir?”

Jawabannya, perhatikan tuturan kisah penulis berikut ini,

“Besok paginya seluruh regu keamanan antimujahidin (polisi menyebut mereka Anti Teroris) telah hadir di depan istana uzlahku. Kami akan terbang ke Solo untuk rekonstruksi di rumah Hernianto. Petugas membagi-bagi jatah makanan untuk seluruh yang berangkat ke Solo. “Ini jatah pak Imam”, tawar seorang petugas. “Saya tak mau” tolak saya. “Puasa pak?”, tanyanya. Kujawab, “Kalau tidak puasa pun saya tidak akan makan nasi negara!” [9]

Pesawat mendarat di Adi Sumarmo, Solo. Setelah sekitar dua jam di pesawat tangan terborgol, kini seluruh muka kami dibungkus menggunakan sebo, persis seperti ketika kami dibungkus di dalam rantis saat akan berangkat dari Polda Bali menuju bandara Ngurah Rai.

Jangan kalian sangka aku mengeluh dengan perlakuan ‘manusiawi’ ini. Sekali-kali tidak!

Aku sangat sadar benar bahwa ini adalah sepenggal episode yang harus kujalani sebagai seorang Mujahid. Allah Yang Maha Gagah di atas ‘Arsy sana memberiku kekuatan untuk membasahi bibirku dengan lautan lafaz-lafaz dzikir, memenuhi seluruh rongga hatiku dan setiap pembulu darahku dan setiap detak jantungku dengan cahaya Furqan![10]

Kini giliran mereka -orang-orang kafir dan zhalim itu- membungkus seluruh muka kami sebegitu rupa. Tapi pastilah kelak akan tiba giliran mereka akan diborgol oleh Allah, wajah mereka kelak akan dibungkus oleh ter dan aspal panas,

“Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu, pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka dibungkus oleh api neraka” (Ibrahim :50)” [11]

Tanggapan

Saya kira jelas dari pernyatan penulis mensifatkan para petugas dan aparat yang membungkus muka mereka, dan ia sebut tanpa ada keraguan bahwa mereka adalah “orang-orang kafir dan zhalim”.

Dan perhatikan juga nafas ekstrim dan kebiasaan Khawarij yang sangat mudah memastikan neraka bagi manusia dan menentukan jenis siksaannya, seakan-akan ia telah mendapatkan wahyu dari langit sehingga berani memastikan suatu perkata ghaib yang merupakan rahasia Allah. Cermati ucapannya, “Tapi pastilah kelak akan tiba giliran mereka akan diborgol oleh Allah, wajah mereka kelak akan dibungkus oleh ter dan aspal panas”.

Senada dengan itu, ucapannya yang lainnya, “Perlu diketahui bahwa birokrasi aparat keamanan, dalam hal ini POLRI, khususnya Tim Investigasi Bom Bali, memberlakukan birokrasi yang terlalu ketat dan over acting. Untuk mendapatkan sebuah buku tulis dan bolpen saja, bukan main susahnya. Allah pasti mengazab mereka di dunia dan di akhirat. Cepat atau lambat apa yang saya tuliskan ini pasti terbukti.” [12]

Dan juga simak keyakinan penulis yang telah dia banggakan pada pendahuluan bukunya, ketika ia bersyukur pada Khutbatul Hajah bukunya, “Alhamdulillah, di atas segalanya, hal yang bagi saya cukup penting dan bermakna ialah bahwa naskah asli buku ini ditulis dengan tinta yang halal, di atas kertas yang halal pula, dengan perantara Pak Qadar, Pak Michdan, dan saudara-saudara se-Islam di TPM. Bukan tinta dan kertas milik polisi atau negara.” [13]

Tentunya para pembaca bisa menangkap dari perkataannya bahwa tinta dan kertas milik polisi dan negara tidak halal dan juga arti ucapannya yang telah lalu, “Kalau tidak puasa pun saya tidak akan makan nasi negara!”. Dan ini adalah bentuk takfir yang sangat ekstrim. Anggaplah mereka itu kafir, tapi bukankah ada rincian mengenai makanan orang yang kafir?. Bukankah suatu hal yang dimaklumi bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menerima pemberian orang-orang kafir, sebagaimana dalam hadits yang sangat banyak, seperti beliau menerima dan memakan pemberian perempuan Yahudi yang ingin meracuni beliau[14], dan beliau sendiri meninggal dalam keadaan baju besi beliau tergadai pada seorang Yahudi dengan nilai 30 Shod gandum[15], dan berbagai nash lainnya. Padahal Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat mengetahui bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang kafir kepada Allah dan suka memakan harta riba yang diharamkan dalam berbagai nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Maka pernyataan di atas adalah suatu hal yang sangat ekstrim dan menunjukkan kedangkalan ilmu orang yang menulisnya.



Dan perlu kami tegaskan, bahwa kami bukan membela orang-orang yang tidak berhukum dengan selain hukum Allah, dan kami juga tidak mengatakan bahwa negara kita Indonesia berhukum dengan hukum Allah, tapi harus diketahui bahwa orang-orang yang berhukum dengan hukum Allah mempunyai beberapa hukum tergantung pada keyakinannya terhadap hukum selain hukum Allah tersebut.

Masalah ini sebenarnya butuh rincian khusus dan mendetail, -insya Allah- akan kami uraikan dalam suatu tulisan tersendiri. Namun cukuplah disini, kami sebutkan suatu kesimpulan penting dalam masalah ini.

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Baz rahimahullah, “Siapa yang berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan oleh Allah, maka tidaklah keluar dari empat perkara:

1. Siapa yang berkata, “Saya berhukum dengan ini –yakni hukum buatan manusia- karena ia lebih afdhol dari syari’at Islam”, maka dia adalah kafir dengan kekafiran akbar[16].

2. Dan siapa yang berkata, “Saya berhukum dengan ini karena ia sama dengan syari’at Islam, berhukum dengan ini boleh dan berhukum dengan syari’at boleh”, maka dia telah kafir dengan kekafiran akbar.

3. Dan siapa yang berkata, “Saya berhukum dengan ini, dan berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhol, tapi berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah adalah boleh”, maka dia telah kafir dengan kekafiran akbar.

4. Dan siapa yang berkata, “Saya berhukum dengan ini, dan dia meyakini bahwa berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan oleh Allah tidak boleh, dan dia berkata bahwa berhukum dengan syari’at lebih afdhol dan tidak boleh berhukum dengan selainnya”, akan tetapi ia bergampangan atau melakukan hal tersebut karena perintah yang keluar dari penguasanya, maka dia telah kafir dengan kekafiran ashgar (kecil) yang tidak mengeluarkan dari agama, dan dianggap dari dosa yang sangat besar.” [17]



Dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 5741, ketika diajukan pertanyaan sebagai berikut, “Orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, apakah dia muslim atau kafir, dan apakah amalan-amalannya diterima?”

Jawab:

(Allah) Ta’ala berfirman,



“Barangsiapa yang tidak berhukum apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma`idah : 44)

Dan (Allah) Ta’ala berfirman,



“Barangsiapa yang tidak berhukum apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zholim.” (QS. Al-Ma`idah : 45)

Dan (Allah) Ta’ala berfirman,



“Barangsiapa yang tidak berhukum apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Ma`idah : 47)

Akan tetapi (ayat-ayat di atas) bagi siapa yang menghalalkan hal tersebut dan menyakini bolehnya, maka dia adalah kekafiran akbar, kezoliman akbar dan kefasikan akbar yang mengeluarkan dari agama. Adapun kalau ia melakukan hal tersebut karena sogokan atau maksud lainnya sedangkan ia meyakini haramnya hal tersebut, maka ia dianggap berdosa dan kafir dengan kekafiran ashgar dan fasik dengan kefasikan ashgar yang tidak mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama dalam tafsir ayat-ayat di atas.” [18]



Dan pada kesempatan ini, kami juga memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk memberi petunjuk kepada para penguasa kaum muslimin agar berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebab hal tersebut merupakan kebaikan dan kesejateraan bagi rakyat dan negara,



“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al-Jin : 16)



“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al-Ma`idah : 65-66)



Dan dengan hal tersebutlah para penguasa kaum muslimin akan dijayakan dan dikokohkan kedudukannya di muka bumi,



“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan.” (QS. Al-Hajj : 40-41)



[1] Aku Melawan Teroris hal. 89-90.


[2] Syarah Masâ`il Jâhiliyah karya beliau hal. 15.


[3] Telah berlalu takhrijnya.


[4] Minhâjus Sunnah 2/217.


[5] Ash-Showâ’iqul Mursalah 2/925. Dan baca juga Syifâ`ul ‘Alîl 1/324.


[6] Aku Melawan Teroris hal. 163.


[7] Aku Melawan Teroris hal. 99-100.


[8] Aku Melawan Teroris hal. 200.


[9] Pada hal. 277 di sela-sela ‘pengalaman rohani’nya yang dia anggap karamah, penulis berkata, “Sungguh pun dalam keadaan terpaksa (darurat) dibolehkan baku untuk menerima makanan ransum dari thaghut dan antek-anteknya, namun aku belum merasa tenang kecuali setelah memakan makanan yang benar-benar ‘steril’, baik materinya maupun cara memperolehnya. Aku tidak ingin dalam tubuhku terdapat secuil pun daging yang tumbuh dari makanan dan minuman yang syubhat, apalagi haram.”

Tanggapan

Ini menunjukkan bahwa penulis tidak komitmen di atas prinsipnya, harusnya ia bersabar dalam kondisi apapun. Bukankan dia penuh dengan ‘karamah’, sehingga dia tidak ada kata darurat baginya?


[10] Gaya seperti ini termasuk bisikan Syaithon kepada penulis yang membuatnya larut dalam kesesatannya. Dan insya Allah akan diterangkan sisi kesalahannya dalam hal ini sekaligus menunjukkan kedangkalan pemahamannya dalam agama.


[11] Aku Melawan Teroris hal. 268-269.


[12] Aku Melawan Teroris hal. 123.


[13] Aku Melawan Teroris hal. 15.


[14] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 2617, Muslim no. 2190


[15] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 2068, 2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513, 2916, 4467 dan Muslim no. 1603.


[16] Kekafiran akbar adalah kekufuran besar yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman. (pen.)


[17] Qadhiyyatut Takfîr Baina Ahlis Sunnah wa Firaqudh Dholâl hal. 72-73.


[18] Ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Bâz (ketua), Syaikh ‘Abdurrazzâk ‘Afîfy (wakil), Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyân (anggota).

http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-kesesatan-1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar