Rabu, 08 Februari 2012

Melacak Paham Keislaman Imam Samudra

Berikut ini, beberapa nash ucapan Imam Samudra yang menggambarkan paham keislamannya.

Nash Pertama

Berkata Penulis dalam bukunya ‘Aku Melawan Teroris’, “Sekarang, akan kupaparkan metode yang kutempuh dalam memahami Islam setelah mempelajari serba sedikit.” [1]

Tanggapan

Perlu diketahui bahwa berbicara dalam suatu permasalahan tanpa ilmu adalah suatu hal yang sangat terlarang dalam syari’at kita. Karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isrô` : 36)

Dan berbicara tanpa ilmu dalam masalah agama adalah lebih berbahaya lagi, dan dosanya lebih besar di sisi Allah Jalla Sya`nuhu. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Katakanlah, “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui”.” (QS. Al-A’raf : 33)

“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nahl : 116-117)

Dan banyak lagi nash ayat maupun hadits yang semakna dengan beberapa ayat di atas, yang keseluruhannya menunjukkan bahwa berbicara dalam masalah agama harus dibangun di atas dasar ilmu yang kuat dan pengetahuan yang benar, terlebih lagi dalam permasalahan-permasalahan agama yang bersifat prinsip dasar dalam syari’at.

Karena itu, sangatlah tidak pantas terhadap orang telah mengakui bahwa dirinya “mempelajari serba sedikit” masalah agama ini untuk berbicara dalam masalah-masalah besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin, pengkafiran, peperangan, masalah Jihad yang telah tergelincir sejumlah kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Islam lantaran kejahilan atau dangkalnya pengetahuan mereka dalam masalah jihad tersebut.

Ucapan penulis di atas, kami anggap sebagai metode umum yang dia tempuh dalam mengangkat sejumlah pembahasan yang telah terbukti bahwa dia telah keliru di dalamnya, akibat dari “mempelajari serba sedikit” sebagaimana yang -insya Allah- akan kami jelaskan.

Kemudian perlu kami ingatkah di sini sebagai pelajaran bagi kaum muslimin, bahwa semenjak masa para shahabat hingga saat ini sering muncul orang-orang yang menjadi duri dalam daging kaum muslimin dengan sikapnya menampilkan sesuatu perkara yang sama sekali ia tidak mempunyai ilmu tentangnya atau sedikit pengetahuan terhadapnya. Dan ini adalah sifat yang sangat tercela yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ketika beliau menyebut orang-orang Khawarij,

يَأْتِيْ فِيْ آخَرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang sangat muda umurnya lagi lemah pemahamannya, mereka berucap dari ucapan sebaik-baik manusia (yaitu hadits Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, -pent.), mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, keimanan mereka tidak melewati kerongkongan mereka, kapan kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka, sebab membunuh mereka adalah suatu pahala pada hari kiamat bagi orang yang membunuhnya.” [2]

Dan hendaknya setiap muslim yang mengharapkan kebaikan bagi dirinya dan saudara-saudaranya sesama muslim untuk tidak menjadi sebab dalam kesesatan yang akan menyeret mereka kepada kebinasaan. Karena hal tersebut terhitung bentuk lain dari dosa yang sangat besar lantaran berbicara tanpa dasar ilmu yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl : 25)

Dan dalam haditsnya, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengingatkan,


مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang jelek, maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [3]

لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

“Tidaklah seorang jiwa terbunuh denga kezholiman kecuali anak Adam yang pertama juga menanggung bagian dari darahnya, karena ia adalah orang yang pertama kali memberi contoh membunuh.” [4]

Nash Kedua

Dan penulis berkata, “Jauh sebelum Jihad Bom Bali terjadi, Alhamdulillah, dengan takdir dan izin Allah SWT, saya telah banyak berdiskusi tentang masalah ini baik di alam nyata maupun internet.” [5]

Tanggapan

Perhatikan kalimat “berdiskusi”, menunjukkan bahwa penulis dalam membahas masalah jihad Bom Bali yang dia sebutkan hanya bersandar pada metode diskusi. Dan bersandar dengan metode seperti adalah suatu kesalahan dalam manhajut talaqqi (metode pengambilan ilmu) yang -sepanjang sejarah- telah banyak menyesatkan kelompok-kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Islam.

Perlu diketahui bahwa ilmu agama dan memahami ilmu agama tidaklah cukup hanya dengan metode “berdiskusi”, bahkan ilmu agama didalami dengan cara menekuninya, mempelajarinya dari sumber-sumbernya yang benar dan dari para guru yang mapan di atas ilmu itu, menghafalkannya dan seterusnya dari kiat-kiat menuntut ilmu yang dicontohkon oleh para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Dan sesungguhnya ilmu itu (didapatkan) dengan mempelajarinya.” [6]

Dan mempelajari ilmu butuh kesabaran, dan banyak mulazamah dengan para ulama yang telah putih rambut mereka di atas ilmu dan keimanan,

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang beribadah kepada Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)

Kekokohan di atas ilmu akan membuahkan keyakinan, dan banyaknya ia berguru, menghafal, memapankan diri di atas ilmu tersebut melambangkan kesabaran. Dan dua sifat inilah yang menjadi ciri orang-orang yang berilmu yang berhak berbicara dalam masalah agama,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah : 24)

Selain dari itu, seorang penuntut ilmu beramal dengan ilmunya sehingga mewarnai gerak-geriknya yang penuh dengan hikmah, rahmat, etika dan akhlak yang baik, dan ia akan mendapatkan ilmu yang sebelumnya dia tidak ketahui, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa` : 66-68)

Dan kiat-kiat dalam menuntut ilmu sangatlah banyak untuk diuraikan disini. Dan dari secuil keterangan yang tersebut di atas telah cukup menjelaskan bahwa membahas suatu permasalahan, apalagi masalah jihad yang sangat detail lagi riskan amatlah tidak pantas hanya dengan metode “berdiskusi”.

Benar, diskusi mempunyai faidah dan dibutuhkan -pada waktu tertentu- saat menuntut ilmu, namun ia bukan sebagai suatu sandaran dalam menuntut ilmu atau membangun ilmu di atasnya. Betapa banyak orang-orang yang salah dalam memahami ilmu agama karena tidak mempelajari akar dan dasar ilmu tersebut, dan betapa banyak orang yang timpang dalam memahami sejumlah masalah lantaran tidak mengambil ilmu dengan metode yang benar.

Dan sangat kami sesalkan penulis buku “Aku Melawan Teroris” telah salah dalam berbagai masalah yang dia paparkan, dan berdalilkan dengan sebuah dalil namun meninggalkan dalil-dalil yang lainnya, serta banyak bersandar pada perasaan dalam masalah-masalah tersebut. Seluruh hal ini terjadi akibat mempelajari ilmu hanya dengan metode “berdiskusi”. Wallahul Musta’an.

Kemudian ucapan penulis, “saya telah banyak berdiskusi tentang masalah ini baik di alam nyata maupun internet.”

Baik, penulis telah menyatakan “saya telah banyak berdiskusi”, tentunya orang berdiskusi butuh teman diskusi, maka kami ingin bertanya kepada penulis “Dengan siapa anda berdiskusi?”, “Siapa guru anda dalam diskusi-diskusi tersebut?”

Kami tidak mengetahui apa jawabannya secara pasti. Namun dari kalimat “di alam nyata maupun internet”, kalau dicermati dengan seksama mungkin bisa terbaca sebuah jawaban mengenai teman diskusinya. Dan uraiannya sebagai berikut,

Perlu diketahui bahwa diantara dasar pokok dalam menuntut ilmu adalah:

Satu : Belajar kepada para guru yang mapan dan kuat di atas ilmu syari’at.

Ini dipahami dari berbagai nash, diantaranya adalah ayat yang telah berlalu,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah : 24)

Tidaklah seseorang sampai ke derajat yakin kecuali dengan ilmu agama yang benar-benar kuat.

Dua : Berguru kepada para ulama yang berada di atas jalan yang lurus dan ‘Aqidah yang benar.

Bukan belajar kepada orang-orang yang berada di atas pemikiran salah atau keyakinan rusak yang menyesatkan umat

Tiga : Terang-terangan dan tidak sembunyi-sembunyi.

Karena suatu perkara yang terselubung atau tersembunyi hanyalah menunjukkan jeleknya perkara tersebut. Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah, “Apabila engkau melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang suatu masalah agama tanpa khalayak umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis suatu kesesatan.” [7]

Setelah memperhatikan tiga perkara di atas, akan dapat disimpulkan bahwa Imam Samudra tidak memiliki tiga kriteria tersebut. Sebab ucapannya “di alam nyata maupun internet” tidak menggambarkan bahwa ia pernah duduk kepada para ulama yang terpercaya keilmuannya. Adapaun tokoh-tokoh kebanggaannya, saya yakin bahwa ia tidak bertemu dengan mereka. Sebab andaikata ia bertemu dengan mereka tentunya dengan bangga akan ditampilkan nama-nama mereka di awal bukunya tatkala menyebutkan biografinya yang suram. Dan kalaupun dianggap ia bertemu dengan mereka, juga ia tidak akan mendapatkan ilmu agama yang semestinya, karena tokoh-tokoh tersebut bukanlah orang yang pantas diambil ilmu darinya, sebab “Orang yang kehilangan sesuatu, tidak akan mungkin memberikan sesuatu itu kepadamu”.

Kemudian penulis menghabiskan 18 lembar dari hal. 19-54 untuk menulis biografinya, yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia mempunyai guru yang mapan dalam ilmu agama dan patut ia bersyukur kepada Allah lantaran berguru kepada mereka. Tidakkah seharusnya ia menyebutkan guru-guru yang dia sempat jumpai tatkala melakukan perjalanan untuk latihan perang ke Malaysia, Pakistan dan Afghanistan. Bahkan dari biografi tersebut tergambar bahwa penulis tidak memiliki dasar agama yang baik dan etika yang seharusnya dimiliki oleh orang yang pernah belajar agama -walaupun sedikit- untuk tidak menyebutkan masa-masa jahiliyah yang sama sekali tidak memberi faidah kepada para pembaca dan seharusnya ia tidak menyingkap suatu aibnya yang Allah telah menutupinya dan sebelumnya orang-orang tidak mengetahuinya.

Maka “di alam nyata” kita tidak mengetahui secara jelas kepada siapa ia berguru. Adapun berdiskusi di alam “internet”, tentunya lebih pahit lagi, karena tidak pernah tercatat dalam sejarah ada orang menjadi ulama lantaran berguru di alam internet. Bahkan telah terjadi, bahwa internet adalah sumber segala kerusakan; merusak agama, akhlak, kehormatan dan sebagainya. Internet telah menjadi sarana para perintis pergerakan terselubung dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kalaupun ada yang mengambil faedah dari internet tersebut, maka bahayanya lebih banyak dan lebih besar dari faedahnya.

Maka kami simpulkan dari uraian di atas, bahwa paham keislaman Imam Samudra dibangun di atas:
Mempelajari serba sedikit.
Tidak pernah duduk untuk belajar secara mendetail dan mendasar, bahkan hanya memakai metode diskusi.
Tidak mempunyai guru yang jelas.
Tidak mengambil ilmu dari sumber-sumber yang benar dan tidak pula dari ahlinya.

Dan betapa besar belasungkawa saya terhadap orang yang memahami Islam dengan metode seperti ini kemudian berani berbicara dalam masalah-masalah yang sangat detail sekaligus menyalahkan sejumlah ulama yang telah menghabiskan umurnya dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu agama kepada manusia. Semoga Allah memberi petunjuk kepada mereka yang tersesat untuk kembali ke jalan yang lurus.

Dan pembahasan di atas belum final, itu hanya sekeder pendahuluan untuk lebih memudahkan pembaca memahami pembahasan ini.



[1] Aku Melawan Teroris hal. 58.


[2] Hadits ‘Ali bin Abi Thôlib radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 2611, 5057, 6930, Muslim no. 1066, Abu Dâud no. 4767 dan An-Nasâ`i 7/119.


[3] Hadits Jarîr radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1017 dan An-Nasâ`i 5/75-76.


[4] Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no.3335, 7321, Muslim no. 1677, At-Tirmidzy no. 2678, An-Nasa`i 7/81 dan Ibnu Mâjah no. 2616.


[5] Aku Melawan Teroris hal. 144.


[6] Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat, dan dihasankan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâry 1/161 dan Al-Albany dalam Ash-Shohîhah no. 342.


[7] Telah berlalu takhrijnya.

http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/melacak-paham-keislaman-imam-samudra.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar